Minggu, 12 April 2015

EDISI SKRIPSI

PENGARUH PENERAPAN STRATEGI PELATIHAN ASERTIF DALAM KONSELING KELOMPOK  TERHADAP ASERTIVITAS SISWA KELAS VII SMP AL-HUDA SURABAYA 

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Perilaku asertif adalah perilaku interpersonal berupa pernyataan perasaan yang bersifat jujur dan relatif langsung (Rimm & Master dalam Rangkuti,2000). Perilaku asertif merupakan perilaku yang penting untuk mewujudkan  pribadi yang sehat. Menurut Alberti dan Emmons (Widjaja dan Wulan,1998) perilaku asertif lebih adaptif daripada perilaku pasif atau perilaku agresif. Asertif menimbulkan harga diri yang tinggi dan hubungan interpersonal yang memuaskan karena memungkinkan orang untuk mengemukakan apa yang diinginkan secara langsung dan jelas sehingga menimbulkan rasa senang dalam diri pribadi dan orang lain. Remaja perlu berperilaku asertif agar dapat mengurangi stress ataupun konflik yang dialami sehingga tidak melarikan diri ke hal-hal negatif (Widjaja & Wulan,1998).
Proses pembelajaran merupakan usaha strategis untuk mewujudkan tujuan pendidikan, karena didalamnya terdapat program dan aktivitas belajar untuk memfasilitasi siswa dalam mencapai perkembangan yang optimal yaitu situasi dimana siswa telah dapat mengaktualisasikan potensi-potensi yang terdapat didalam dirinya. Peran bimbingan dan konseling sangat dibutuhkan dalam mengaktualisasikan potensi-potensi tersebut. Guru bimbingan dan konseling adalah pendidik dan bertugas menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Hal ini sesuai dengan PP No.17 Tahun 2010, pasal 171 yang menyatakan bahwa konselor (Guru BK) sebagai pendidik professional memberikan pelayanan konseling kepada peserta didik di satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Hal ini, guru bimbingan dan konseling harus mampu mengembangkan dan melaksanakannya sesuai dengan fungsi kontrolnya sebagai penanggung jawab layanan bimbingan dan konseling di sekolah yang bermuara pada terwujudnya perkembangan diri dan kemandirian siswa secara optimal dengan hakikat kemanusiaannya sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa, sebagai makhluk individu, dan makhluk sosial dalam berhubungan dengan manusia dan alam semesta. Sasaran dari pelayanan tersebut adalah siswa, dimana siswa dikembangkan segenap potensi dan kemandiriannya.
Siswa merupakan peserta didik dan juga bagian dari masyarakat dituntut dapat berkomunikasi dengan orang lain di lingkungan. Lingkungan yang dimaksud adalah sekolah, karena hampir sebagian waktu siswa banyak digunakan untuk berinteraksi di sekolah. Tugas siswa di sekolah yaitu belajar, karena dengan belajar siswa akan memperoleh perubahan yang positif dan dapat berkembang secara optimal perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotoriknya sehingga siap melaksanakan perannya di masa yang akan datang. Siswa diharapkan mampu berperilaku asertif dalam menyampaikan pendapat dan berkomunikasi dengan lingkungan interaksi sosialnya sesuai dengan tugas perkembangan yang ada pada dirinya. Menurut Lazarus (1971:138) yang mengemukakan bahwa perilaku asertif adalah perilaku dimana individu mengekspresikan perasaan positif atau negatif dan pikirannya secara tegas dengan tetap memperhatikan perasaan orang lain.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan oleh Agustina Mahasiswi IKIP Semarang bahwa di SMP Negeri 3 Ungaran, khususnya kelas VIII sebagian besar siswanya pernah membolos walaupun hanya sesekali ataupun sekedar iseng. Menurut guru BK di SMP tersebut hampir setiap kelas ada anak yang membolos dengan berbagai macam alasan. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan oleh  Agustina Mahasiswi IKIP Semarang dengan guru BK pada bulan Oktober 2012, peneliti menemukan hampir 50% siswa khususnya kelas VIII di SMP 3 Ungaran pernah membolos setiap bulannya, selain itu tidak sedikit siswa yang meninggalkan jam pelajaran tertentu hanya sekedar ke kantin atau berkumpul di toilet dengan teman-teman yang lain. Ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa remaja yang memiliki perilaku asertif rendah akan mudah terjerumus dalam perilaku negatif. Ardiantini (2009), mengutip dari berbagai sumber seperti Suara Merdeka (8 Maret 2009), bahwa terdapat 28 kasus kekerasan dalam pacaran, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga menangani 385 kasus kekerasan dalam pacaran. Penelitian yang dilakukan Israr (Ardianti, 2009:6) juga mengungkapkan bahwa terjadinya kekerasan dalam berpacaran karena korban cenderung tidak berani menolak atau berkata tidak, menutup diri dan menghukum diri. Fenomena pacaran yang ada di kalangan remaja kelas X Pemasaran 1 di SMK Negeri 1 Depok masih menunjukkan perilaku asertif yang rendah dalam berpacaran. Hal ini terbukti dari hasil wawancara pada tanggal 24 Januari 2012 oleh Nur salah satu Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta yang dilakukan dengan beberapa siswa SMK Negeri 1 Depok mengemukakan bahwa siswa Aya (nama samaran) merasa sungkan untuk mengungkapkan penolakan ajakan pacar ketika Aya sedang sibuk mengerjakan tugas dari sekolah, sehingga Aya lebih memilih untuk menuruti keinginan pacar dan tugas sekolah sering terabaikan. Begitu juga dengan Ani (nama samaran) mengungkapkan bahwa ia merasa kesulitan untuk mengungkapkan hak-haknya untuk dapat bersosialisasi dengan lawan jenisnya karena larangan pacarnya. Ani merasa terkekang dengan sikap pacarnya yang posesif. Ani ingin mengungkapkan pikiran-pikirannya tersebut tanpa harus kehilangan pacar. Begitu juga dengan siswi yang bernama Nina (nama samaran) ia mengungkapkan bahwa merasa sungkan untuk mengungkapkan kepada pacar ketika ia menghendaki pacarnya untuk segera pulang ke rumah karena waktu sudah menjelang maghrib.
Menurut Alberti dan Emmons (2002) perilaku asertif adalah perilaku yang membuat seseorang dapat bertindak demi kebaikan dirinya, mempertahankan haknya tanpa cemas, mengekspresikan perasaan secara nyaman, dan menjalankan haknya tanpa melanggar orang lain. Perilaku siswa yang tidak asertif akan berdampak pada dirinya sendiri dan orang lain, diantaranya ketidakmampuan berprestasi, kegelisahan yang tidak realistis, kesulitan bergaul, kesedihan, ketergantungan yang berlebihan kepada guru dan depresi. Perilaku siswa yang tidak asertif merupakan salah satu bentuk kenakalan siswa, jika tidak segera diselesaikan atau dicari solusinya akan dapat menimbulkan dampak yang lebih parah. Oleh karena itu, penanganan terhadap siswa yang berperilaku tidak asertif perlu mendapat perhatian yang lebih serius.
Menurut Rathus dan Nevid (1983) terdapat 6 faktor yang mempengaruhi perkembangan perilaku asertif yaitu: (1) Jenis Kelamin, Wanita pada umumnya lebih sulit bersikap asertif seperti mengungkapkan perasaan dan pikiran dibandingkan laki-laki; (2) Self Esteem, keyakinan seseorang turut mempengaruhi kemampuan untuk melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan; (3) Kebudayaan, tuntutan lingkungan menentukan batas-batas perilaku, dimana batas-batas perilaku itu sesuai dengan usia, jenis kelamin, dan status sosial seseorang; (4) Tingkat Pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin luas wawasan berfikir sehingga memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri dengan lebih terbuka; (5) Tipe Kepribadian, dalam situasi yang sama tidak semua individu memberikan respon yang sama; (6) Situasi Lingkungan sekitarnya, dalam berperilaku seseorang akan melihat kondisi dan situasi dalam arti luas.
Menurut Willis dan Daisley (1995) Asertif merupakan suatu bentuk perilaku dan bukan merupakan sifat kepribadian seseorang yang dibawa sejak lahir, sehingga dapat dipelajari meskipun pola kebiasaan seseorang mempengaruhi proses pembelajaran tersebut yang menegaskan bahwa semua orang dapat berperilaku agresif, pasif ataupun asertif, akan tetapi untuk berperilaku asertif perlu dipelajari dan dilatih (Pentz dalam Rakos, 1991). Hal ini diperkuat oleh Haris (Prabana, 1997) bahwa kualitas perilaku asertif seseorang sangat dipengaruhi oleh pengalaman pada masa kanak-kanaknya. Pengalaman tersebut berupa interaksi dengan orang tua melalui pola asuh yang ada dalam keluarga yang menentukan pola respons seseorang dalam menghadapi berbagai masalah setelah ia menjadi dewasa kelak.
Terkait dengan permasalahan tersebut, maka perlu adanya langkah guna menyelesaikan masalah ini. Melalui konseling kelompok, diharapkan siswa mampu menghilangkan perilaku yang tidak asertif. Seperti yang telah dikemukakan oleh Wrenn (Walgito, 2004) dalam proses konseling terlihat adanya sesuatu masalah yang dialami konseli. Konseli perlu mendapatkan pemecahan dan cara pemecahannya harus sesuai dengan keadaan konseli. Jadi dalam proses konseling ada tujuan langsung yang tertentu, yaitu pemecahan masalah yang dihadapi konseli. Metode untuk meningkatkan perilaku asertif salah satunya yaitu pelatihan asertif. Menurut Zastrow (Nursalim, 2005:129) pelatihan asertivitas adalah pelatihan yang dirancang untuk membimbing manusia untuk menyatakan, merasa, dan bertindak pada asumsi bahwa mereka memiliki hak untuk menjadi dirinya sendiri tanpa harus mengesampingkan hak orang lain. Melalui pelatihan asertivitas ini remaja juga dilatih untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan serta mampu memberikan respon-respon penolakan secara tegas. Beberapa penelitian telah mengembangkan dan menerapkan pelatihan asertivitas untuk remaja. Hasil penelitian Dzakiyatus (2011:106) tentang peningkatan perilaku asertif melalui pelatihan asertivitas, menunjukkan adanya perubahan yang positif seperti menegur teman yang melakukan kesalahan, menolak permintaan teman dengan sopan dan mengungkapkan ketidaksenangan pada teman. Pelatihan Asertif ini dimaksudkan untuk mengajarkan dan membiasakan individu berperilaku asertif dalam hubungan sehari-hari dengan orang lain di sekitarnya. Penelitian yang lain juga mengatakan bahwa pelatihan asertif berpengaruh terhadap peningkatan perilaku asertif siswa-siswi SMP (Anima, Indonesian Psychological Journal 2005). 
Penggunaan pelatihan asertif diharapkan siswa dapat menjadi individu yang mandiri, tegas, menjadi terlatih dalam berkomunikasi sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Tehnik pelatihan asertif ini digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan konseli untuk secara terus menerus menyesuaikan dirinya dengan tingkah yang diinginkan dan dalam upaya menolak dengan ketegasan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri konseli.

B.     Ruang Lingkup dan Pembatasan Masalah
Ruang lingkup penelitian ini hanya membatasi pada:
     Peneliti hanya meneliti penerapan Strategi Pelatihan Asertif dalam konseling kelompok untuk mengatasi sikap siswa yang kurang asertif serta bagaimana pengaruhnya terhadap siswa tersebut.

C.     Rumusan Masalah
Memperhatikan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut. Adakah pengaruh yang signifikan penerapan Strategi Pelatihan Asertif dalam Konseling Kelompok terhadap Asertivitas Siswa?

D.    Variabel dan Defenisi Operasional Variabel
Penelitian ini menggunakan 2 variabel yaitu penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok sebagai variabel bebas dan asertivitas siswa sebagai variabel terikat. Kedua variabel tersebut penulis defenisikan sebagai berikut :
Penerapan Strategi Pelatihan Asertif dalam Konseling Kelompok adalah suatu strategi yang digunakan untuk melatih individu agar dapat mengekspresikan emosinya secara tegas dengan latihan pendisiplinan dalam konseling kelompok.
            Asertivitas siswa adalah sikap atau perilaku siswa yang mampu mengekspresikan emosi secara bebas, tepat dan tegas tanpa cemas terhadap orang lain tetapi tetap memperhatikan norma yang berlaku di sekitar. Ciri-ciri perilaku asertif sebagai berikut: (1) Kemampuan mengekspresikan perasaan yang sesungguhnya; (2) Kemampuan mengemukakan ide, pendapat, dan gagasan; (3) Kemampuan mengajukan pertanyaan tanpa rasa cemas; (4) Mempunyai pandangan yang positif tentang diri sendiri dan rasa percaya diri; (5) Mempunyai pandangan yang positif tentang hidup; (6) Mempunyai intensitas komunikasi yang tinggi.

E.     Tujuan Penelitian
     Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi pengaruh strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa.
F.      Manfaat Penelitian
Penelitian ini perlu dilakukan yang hasilnya dapat bermanfaat bagi peneliti, guru bimbingan dan konseling, dan pihak lembaga pendidikan.
1.      Bagi peneliti
     Penelitian ini akan memberikan manfaat kepada  peneliti berupa diperolehnya pengalaman plastis dalam melakukan penelitian pelaksanaan penerapan strategi pelatihan asertif dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap asertivitas siswa sehingga peneliti akan memperoleh hasil belajar berupa pengalaman melaksanakan penelitian.
2.      Bagi Guru BK
     Disamping itu, hasil penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi guru bimbingan dan konseling yaitu, dapat digunakan sebagai salah satu refrensi khususnya dalam upaya pengembangan program bimbingan pribadi di sekolah yang bermanfaat bagi peserta didik.

3.      Bagi Sekolah
     Bila penelitian ini dilaksanakan dengan baik, maka hasil yang diharapkan juga bermanfaat bagi sekolah, yaitu dapat digunakan sebagai masukan dalam menentukan kebijakan khususnya kebijakan perlunya usaha meningkatkan mutu pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan para siswa (konseli).

G.    Hipotesis
Pada penelitian ini diajukan hipotesis yaitu ada pengaruh yang signifikan penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa.



BAB II
LANDASAN TEORI
A.     Perilaku Asertif
1.      Pengertian Perilaku Asertif
Kata Asertif berasal dari bahasa inggris to assert yang diartikan sebagai suatu ungkapan sikap positif (Fensteirheimdan Baer, 1995). Perilaku asertif merupakan terjemahan dari assertive behavior artinya perilaku yang dinyatakan dengan sopan dan manis untuk meminta seseorang agar melakukan apa yang diinginkan sesuai norma, tenang, dewasa, dan masuk akal. Rathus dan Nevid (1980), mengemukakan bahwa kata to assert berarti meminta seseorang untuk melakukan sesuatu dengan cara yang akan menambah penghargaan atau mengurangi kebencian.
Menurut Christoff dan Kelly  (Khusna , 2002), assertiveness sedikitnya mencakup tiga klasifikasi umum perilaku, yaitu tepat dalam cara menolak permintaan orang lain, ekspresi yang tepat dalam pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan serta ekspresi yang tepat dari keinginan-keinginan yang dimilikinya. Sedangkan menurut Davis (1981), perilaku asertif adalah perilaku yang mengarah langsung kepada tujuan, jujur, terbuka, penuh percaya diri, dan teguh pendiriannya. Mulyani (1989), menyatakan bahwa perilaku asertif adalah perilaku pribadi menyangkut emosi yang tepat, jujur, relatif terus terang, tanpa perasaan cemas terhadap orang lain. Sedangkan Lazarus (Fensteirheim dan Baer, 1995) merumuskan perilaku asertif sebagai perilaku penuh dengan ketegasan yang timbul karena adanya kebebasan emosi dari setiap usaha untuk membela hak-haknya. Orang yang asertif akan menuntut haknya tanpa memaksakan kehendaknya pada orang lain. Menurut Rimm dan Master (Martant, 2002) perilaku asertif adalah suatu perilaku interpersonal yang berupa pernyataan perasaan yang bersifat jujur dan relatif langsung.
Karsono (Hidayat, 2000) menyatakan bahwa perilaku asertif merupakan kemampuan seseorang untuk mengekspresikan perasaan, memilih dengan tepat cara untuk bertindak, mengungkapkan hak-haknya pada saat yang tepat, meningkatkan harga diri, membantu meningkatkan kepercayaan diri, menyatakan ketidaksetujuan pada saat yang tepat serta mampu merencanakan untuk memperbaiki perilakunya sendiri dan meminta orang lain untuk mengubah perilaku tanpa menyerang orang lain. Menurut Youngs (1986), perilaku asertif adalah perilaku yang mencerminkan bahwa individu memiliki apa yang diinginkan, termasuk perasaan tidak meletakkan tanggung jawab ke atas orang lain. Perilaku asertif adalah kemampuan menyatakan sesuatu dengan cara yang dapat diterima orang lain. Menurut akan pikiran secara jujur dan tepat tanpa menginjak hak pribadi orang lain. Perilaku asertif menekankan pada aspek kejujuran, jujur dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan, jujur terhadap apa yang dirasakan dan dipikirkan, jujur terhadap diri sendiri maupun orang lain. Menurut Bernete (Fauziah, 2003) ada 3 hal yang berkaitan dengan asertif, yaitu:
a)         Menunjukkan validasi empati, yaitu mencoba untuk menyatakan sesuatu yang menunjukkan kemengertian terhadap perasaan orang lain.
b)         Menyatakan masalah, yaitu sesuatu yang menggambarkan kesulitan atau ketidakpuasan, memberitahukan mengapa seseorang ingin adanya perubahan.
c)         Menyatakan apa yang diinginkan, yaitu meminta secara khusus kepada orang lain untuk merubah perilakunya.
Menurut Shaffer dan Galinsky (Khoir, 2007) asertivitas adalah kemampuan seseorang untuk mengekspresikan apa yang ada pada dirinya dengan cukup terampil dan spontan. Schroeder (Khoir, 2007) menyatakan bahwa asertivitas adalah ketrampilan untuk memohon, mempertahankan diri atau memperoleh sesuatu yang lebih baik dalam hubungan interpersonal dalam berbagai situasi dan mengekspresikan perasaan yang diinginkan atau menghilangkan sesuatu yang tidak baik melalui hukuman.
Perilaku asertif merupakan bentuk pengembangan hubungan interpersonal yang bersifat memberi (menyatakan kebutuhan, perasaan, dan pikiran secara langsung, jujur, dan dalam kesempatan yang tepat) dan sekaligus juga menerima, mendengarkan secara aktif apa yang menjadi kebutuhan, pikiran, dan perasaan orang lain. Asertif adalah kemampuan untuk secara jujur menyampaikan pendapat, perasaan, sikap dan hak dengan tidak mengganggu kepentingan atau hak-hak orang lain (Widyarini, 2004). Menurut Butler (Khoir, 2007) perilaku asertif tidak hanya sebatas ekspresi pikiran dan perasaan yang positif, namun juga berkaitan dengan ekspresi perasaan negatif. Hal ini berarti bahwa perilaku asertif tidak hanya sebatas kemampuan mengekspresikan pikiran dan perasaan seperti yang positif tetapi juga bagaimana mengekspresikan pikiran dan perasaan negatif seperti menolak, menyatakan tidak dan menunjukkan reaksi tidak mengerti atau tidak suka. French (Khoir, 2007) menyatakan bahwa perilaku asertif berbeda dengan agresif dan sikap pasif. Sikap agresif cenderung bergerak di luar batas hak, sehingga melanggar hak-hak orang lain, mengabaikan dan menolak kepercayaan, opini, perasaan, keinginan, emosi, sikap, data, informasi atau keterlibatan orang lain. Sikap pasif adalah mengabaikan hak diri sendiri, gagal untuk mempertahankan diri sendiri, dan membiarkan orang lain mengabaikan hak diri sendiri. Oleh karena itu, asertivitas bukanlah merupakan cerminan pribadi, tetapi hanya sebuah ketrampilan dalam berkomunikasi. Rathus dan Nevid (Khoir, 2007) menyatakan bahwa perilaku asertif bukanlah bawaan atau muncul secara kebetulan pada tahap perkembangan individu, namun merupakan pola-pola yang dipelajari sebagai reaksi terhadap situasi sosial dalam kehidupannya. Tujuan perilaku asertif adalah membuat proses komunikasi berjalan dengan efektif, membangun hubungan yang setara dan saling menghormati. Perilaku asertif juga merupakan bentuk pemecahan masalah melalui negoisasi.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif adalah perilaku hubungan antar pribadi yang menyangkut emosi yang tepat, jujur, relative terus terang, dan tanpa perasaan cemas terhadap orang lain, serta mengandung sikap penuh ketegasan yang sebagian besar dipelajari individu di tempat individu tersebut mengembangkan diri.
2.      Aspek-aspek Perilaku Asertif
Townsend dalam Khusna, 2002 menyatakan bahwa orang yang berperilaku asertif dapat disebut sebagai orang yang mempunyai kepercayaan diri, karena orang yang percaya diri dapat bersikap positif pada dirinya sendiri maupun pada orang lain. Sikap ini kemudian akan menjadikan seseorang memiliki aspek-aspek perilaku asertif sebagai berikut:
a.       Tegas
Tegas berarti konsisten terhadap apa yang menjadi perasaan, kehendak, dan keyakinannya.



b.      Jujur dan Terbuka
Jujur dan terbuka berarti mau dan mampu mengkomunikasikan perasaan, kehendak, kekurangan atau kesalahan apa adanya serta tidak malu memperbaikinya.
c.       Nyaman dalam mengemukakan isi pikiran dan perasaannya. Hal ini berarti bahwa kejujuran dan keterbukaan dilakukan secara spontan, percaya diri, tidak cemas, dan tetap merasa nyaman.
d.      Kritis
Kritis berarti menganalisis dan menerima sesuatu dengan dilandasi pemikiran dan pemahaman, sedangkan menghormati orang lain berarti mampu menjaga hak-hak orang lain tanpa mengorbankan kepentingan pribadinya.
Townsend (Khusna, 2002) menyatakan bahwa perilaku asertif terdiri dari dua aspek, yaitu:
a.       Perilaku asertif agresif
Perilaku asertif agresif merupakan perilaku ekspresif tetapi juga bersifat defensif (bertahan) dan merusak diri sendiri dan orang lain yang kemudian diakhiri dengan munculnya perasaan frustasi dan kesepian.
b.      Perilaku asertif pasif
Perilaku asertif pasif merupakan sikap menghindari konflik dengan orang lain dengan cara menempatkan keinginan perasaan dan kebutuhan dirinya dibawah keinginan, perasaan, kebutuhan orang lain karena adanya perasaan takut dan kurang percaya diri.
Menurut Bloom, dkk (1985) perilaku asertif dapat pula dilihat dari aspek perilaku nonverbal yang meneliti ekspresi mimik, gerakan tubuh, postur, nada dan tekanan suara serta saat tertawa yang tepat. Kontak mata langsung menunjukkan ekspresi sungguh-sungguh. Postur tubuh yang tegap dan menghadap lawan bicara akan mempengaruhi pesan yang disampaikan. Gerakan isyarat yang tepat juga dapat digunakan, demikian juga dengan ekspresi wajah, tekanan, dan volume suara akan menimbulkan kesan yang meyakinkan.
                        Lazarus (1996) menyatakan aspek perilaku asertif, yaitu:
a.       Kemampuan untuk memulai, melanjutkan, mengakhiri suatu pembicaraan dengan sukses.
b.      Kemampuan untuk berkata tidak bila memang diperlukan.
c.       Kemampuan untuk mengekspresikan perasaan positif dan negatif.
d.      Kemampuan untuk menyuruh atau bertanya pada orang lain bila memang mempunyai tujuan.
Orang yang mempunyai perilaku asertif adalah orang mempunyai harga diri dan pendirian yang teguh (Davis, 1981) dan mempunyai konsep diri yang positif yang dicirikan dengan harga diri yang tinggi. Menurut Bower dan Bower (1984) menyatakan bahwa seseorang yang berperilaku asertif memiliki aspek-aspek sebagai berikut:
a.       Menggunakan perkataan yang mengekspresikan perasaan (feeling talk), seseorang dapat mengekspresikan kesenangan dan minat pribadi secara spontan.
b.      Berbicara tentang diri sendiri, seseorang yang asertif membiarkan orang lain mengetahui hal berguna yang telah dilakukannya tanpa melakukan monopoli dalam percakapan, namun dapat menunjukkan kelebihan dirinya pada saat yang tepat.
c.       Bersikap ramah dan bersahabat pada orang lain serta dapat menyapa dengan sikap ringan tidak hanya berdiam diri melihat dengan sikap malu-malu.
d.      Menerima pujian dengan cara ramah.
e.       Menggunakan ekspresi wajah dan perubahan nada sesuai dengan kata-kata yang disampaikan serta berani menatap lawan bicara.
f.        Tidak berpura-pura tetapi dapat mengungkapkan ketidak setujuan secara halus.
g.       Berani meminta penjelasan bila memberikan penjelasan yang membingungkan.
h.       Berani menanyakan alasan ketika orang lain meminta untuk melakukan hal-hal yang tidak masuk akal.
i.         Berani menyatakan ketidak setujuan bila tidak setuju dengan pendapat orang lain dan merasa yakin dengan dasar ketidaksetujuannya itu.
j.        Berani menuntut apa yang menjadi haknya serta meminta untuk diperlakukan adil tanpa disertai kemarahan bila merasa diperlakukan tidak adil.
k.      Berani memperjuangkan dengan gigih keluhan atau pengaduan yang masuk akal sampai memperoleh kepuasan.
l.         Mampu menghindar untuk tidak memberikan alasan pada setiap pendapat atau pertanyaan yang bertujuan untuk mendebat bila mungkin tidak berkenan di hati.
Ardiah (2003) menyimpulkan bahwa perilaku asertif terdiri dari aspek-aspek sebagai berikut:
a.       Kemampuan mengekspresikan perasaan yang sesungguhnya.
b.      Kemampuan mengemukakan ide, pendapat dan gagasan.
c.       Kemampuan mengajukan pertanyaan tanpa rasa cemas.
d.      Mempunyai pandangan positif tentang diri sendiri dan rasa percaya diri.
e.       Memiliki pandangan aktif tentang hidup.
f.        Memiliki intensitas komunikasi yang tinggi.
g.       Mampu menolak permintaan orang lain yang tidak jelas


3.      Ciri-ciri Orang yang Berperilaku Asertif
Orang yang asertif menurut Feinsteiheim dan Baer (1995) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Merasa bebas untuk mengemukakan diri sendiri baik memulai kata-kata maupun tindakan.
b.      Dapat berkomunikasi dengan orang lain secara terbuka, langsung dan jujur.
c.       Mempunyai pandangan aktif tentang hidup yang berarti.
d.      Bertindak dengan cara yang dihormati, artinya bersedia menerima keterbatasan, kegagalan, tidak membuat diri sendiri kehilangan harga diri.
       Fensterheim dan Baer (1995) menyatakan bahwa orang yang asertif adalah orang yang penuh dengan rangsangan semangat, menyadari siapa dirinya, dan apa yang diinginkan. Perilaku asertif seseorang secara tidak langsung akan membuat orang lain merasa di tuntut untuk menghargai keberadaan dirinya. Orang yang berperilaku asertif tidak akan meremehkan, mengabaikan hak-hak dan tidak membiarkan orang lain melanggar hak-haknya. Orang yang berperilaku asertif akan mampu mengemukakan apa yang dipikirkannya tanpa rasa takut, sebaliknya orang yang tidak atau kurang asertif adalah orang yang harga dirinya rendah, kurang percaya diri, tidak dapat secara bebas dalam menyatakan apa yang dirasakan dan diinginkannya. Kanfer dan Goldstein (1986) mengemukakan bahwa ciri-ciri orang yang berperilaku asertif adalah orang yang menguasai diri, dapat merespon hal-hal yang sangat disukai secara wajar dan dapat menyatakan kasih sayang dan cintanya. Menurut Napolly dan dkk (khusna, 2002) orang yang memiliki sikap dan perilaku asertif mampu mengeskpresikan dirinya secara jelas dan positif. Individu yang asertif dapat mengekspresikan dirinya dengan jelas dan dapat berkomunikasi dengan orang lain secara efektif. Perilaku asertif akan membuat seseorang mengembangkan respons yang positif dan menunjukkan sikap yang sesuai dengan harapan.
            Norton dan Warick menyatakan bahwa ada lima ciri perilaku individu terhadap lingkungan yang termasuk perilaku asertif, yaitu:
a.    Terbuka, dalam arti dapat mengemukakan perasaannya secara jujur kepada semua orang.
b.   Mempunyai intensitas komunikasi yang tinggi dan dominan,
c.    Mampu menyesuaikan diri dengan segala macam situasi komunikasi sehingga tidak mempunyai kecemasan dalam berkomunikasi.
d.   Mampu berdebat dan berargumentasi
e.    Tidak dapat diintimidasi dan tidak mudah dipengaruhi.

4.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Asertif
Galassi (Rahmawati, 1994) berpendapat bahwa asertivitas merupakan perilaku yang muncul dalam situasi yang spesifik. Individu yang berperilaku asertif pada lingkungan tertentu belum tentu berperilaku asertif pada lingkungan yang lain. Hal ini karena perkembangan perilaku asertif ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dialami individu dalam lingkungan, pengalaman hidup, serta perkembangan pribadi individu.
Menurut Rathus dan Nevid (1980) beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku asertif adalah sebagai berikut:
a.       Pola Asuh
Pengalaman masa anak-anak yang kebanyakan berupa interaksi dengan orang tua maupun dengan anggota keluarga lainnya sangat menentukan pola respon seseorang dalam menghadapi berbagai masalah setelah dewasa kelak yang akan mempengaruhi kualitas perilaku asertif (Harris dalam Prabana, 1997).
b.      Usia
Menurut Feinsteirheim dan Baer (1995) asertivitas berkembang sepanjang hidup seseorang sejalan dengan bertambahnya usia seseorang maka bertambah pula pengalaman yang diperoleh sehingga dari pengalaman yang diperoleh itu, individu dapat belajar hal-hal yang positif bagi dirinya sehingga hal ini dapat membantunya dalam berperilaku.
c.       Harga Diri
Menurut Bloom, dkk (1985) individu yang memiliki harga diri yang tinggi akan mampu berperilaku asertif dan sebaliknya semakin mampu individu dalam berperilaku asertif semakin meningkatkan pula harga dirinya.
d.      Sosial Ekonomi dan Intelegensi
Penelitian Schart dan Goldman (Prabana, 1997) membuktikan adanya pengaruh tingkat sosial ekonomi dan intelegensi terhadap asertivitas. Individu yang memiliki tingkat sosial ekonomi dan intelegensi tinggi lebih asertif daripada individu yang memiliki tingkat sosial ekonomi dan intelegensi rendah.
e.       Tingkat Pendidikan
Firth dan Synder (Khusna, 2002) menyatakan bahwa pengetahuan dan wawasan yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi rasa percaya diri dan hubungan interpersonal. Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih asertif daripada individu yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
f.        Kepribadian
Orang  yang ekstrovert terlihat lebih asertif daripada orang yang introvert, karena orang-orang yang ekstrovert lebih bebas dalam mengemukakan pendapatnya dan mudah melakukan hubungan dengan orang lain (Stein dan Book, 2002)
Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi asertivitas adalah pola asuh, usia, harga diri, sosial ekonomi, intelegensi, tingkat pendidikan dan kepribadian.

B.     Konseling Kelompok
1.      Pengertian Konseling Kelompok
Gazda (1984), Shertzer&Stone (1980) dalam Mungin Edi Wibowo, 2005 mengemukakan pengertian konseling kelompok adalah suatu proses antar pribadi yang terpusat pada pemikiran dan perilaku yang didasari. Proses itu mengandung ciri-ciri terapeutik seperti pengungkapan pikiran dan perasaan secara leluasa, orientasi pada kenyataan, pembukaan diri mengenai perasaan-perasaan mendalam yang dialami, saling percaya, saling perhatian, saling pengertian, dan saling mendukung.

2.      Tujuan Konseling Kelompok
Menurut Prayitno (2004), tujuan umum konseling kelompok adalah mengembangkan kepribadian siswa untuk mengembangkan kemampuan sosial, komunikasi, kepercayaan diri, kepribadian, dan mampu memecahkan masalah yang berlandaskan ilmu dan agama. Tujuan khusus konseling kelompok adalah :
a.       Membahas topik mengandung masalah aktual, hangat dan menarik perhatian anggota kelompok,
b.      Terkembangnya perasaan, pikiran, persepsi, wawasan, dan sikap terarah kepada tingkah laku dalam bersosialisasi atau berkomunikasi,
c.       Terpecahkannya masalah individu yang bersangkutan dan diperolehnya imbasan pemecahan masalah bagi individu peserta konseling kelompok yang lain,
d.      Individu dapat mengatasi masalahnya dengan cepat dan tidak menimbulkan emosi.
Menurut Mungin Eddy Wibowo (2005:20) tujuan yang ingin dicapai dalam konseling kelompok, yaitu pengembangan pribadi, pembahasan dan pemecahan masalah pribadi yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok agar terhindar dari masalah sehingga masalah dapat terselesaikan dengan cepat melalui bantuan anggota kelompok yang lain.
Menurut Dewa Ketut Sukardi (2002:49) tujuan konseling kelompok meliputi :
a.       Melatih anggota kelompok agar berani berbicara dengan oran banyak,
b.      Melatih anggota kelompok agar dapat bertenggang rasa terhadap teman sebayanya,
c.       Dapat mengembangkan bakat dan minat masing-masing anggota kelompok,
d.      Mengentaskan permasalahan-permasalahan kelompok.
3.      Asas-Asas Konseling Kelompok
Sejumlah prinsip ataupun asas-asas yang harus diperhatikan oleh para anggota konseling kelompok, yaitu :
a.       Asas kerahasiaan
Asas kerahasiaan ini memegang peranan penting dalam konseling kelompok karena masalah yang dibahas dalam konseling kelompok bersifat pribadi, maka setiap anggota kelompok diharapkan bersedia menjaga semua pembicaraan atau  tindakan yang ada dalam kegiatan konseling kelompok dan tidak layak diketahui oleh orang lain selain orang-orang yang mengikuti kegiatan konseling kelompok.
b.      Asas kesukarelaan
Asas kesukarelaan meliputi kehadiran, pendapat, usulan dan tanggapan dari anggota kelompok harus bersifat sukarela tanpa paksaan.
c.       Asas keterbukaan
Kekhawatiran dan keraguan akan timbul jika tidak ada keterbukaan antar anggota kelompok.
d.      Asas kegiatan
Hasil layanan konseling kelompok tidak akan berarti bila klien yang dibimbing tidak melakukan kegiatan dalam mencapai tujuan bimbingan. Pemimpin kelompok hendaknya menimbulkan suasana agar klien yang dibimbing mampu menyelenggarakan kegiatan yang dimaksud dalam penyelesaian masalah.
e.       Asas kenormatifan
Setiap anggota harus dapat menghargai pendapat orang lain, jika ada yang ingin mengeluarkan pendapat maka anggota yang lain harus mempersilahkannya terlebih dahulu.
f.        Asas kekinian
Masalah yang dibahas dalam kegiatan konseling kelompok harus bersifat sekarang. Artinya, masalah yang dibahas adalah masalah yang saat ini sedang dialami yang mendesak, mengganggu keefektifan kehidupan sehari-hari, dan membutuhkan penyelesaian segera, bukan masalah dua tahun yang lalu atau masalah waktu kecil.
4.      Langkah-Langkah Konseling Kelompok
Konseling kelompok merupakan salah satu layanan bimbingan dan konseling. Menurut Hartono (2010:14) Langkah-langkah konseling kelompok yang harus dilakukan adalah:
a.       Membentuk Kelompok: (1) Konselor mengucapkan salam kepada para konseli; (2) Konselor membentuk kelompok dan memberikan nama kelompok.
b.      Membentuk Hubungan Baik; (1) Konselor memperkenalkan diri kepada anggota kelompok; (2) Membuat yel-yel, anggota kelompok diajak mengucapkan yel-yel agar situasi lebih kondusif dan bersemangat; (3) Menjelaskan ungkapan professional yaitu konselor menjelaskan kepada konseli tentang apa konseling, tujuan konseling, asas-asas konseling, dan bagaimana hasil konseling. Tujuan dari membentuk hubungan baik ini adalah untuk menggali informasi dari konseli agar konseli dapat membuka diri.
c.       Membentuk dan mengembangkan norma kelompok: (1) Konselor menyiapkan terlebih dahulu draf norma kelompok; (2) Mengajak konseli untuk mendiskusikan tentang norma kelompok sampai konseli memahami dan menerimanya. Tujuan membentuk dan mengembangkan norma kelompok ini adalah agar norma-norma dalam konseling kelompok dipatuhi oleh para konseli.
d.      Menjelaskan Tujuan Konseling Kelompok yaitu konselor menjelaskan tujuan pelaksanaan konseling kelompok kepada para konseli agar konseli turut aktif dalam memahami tujuan konseling kelompok.
e.       Identifikasi Kasus Masalah Konseli: (1) Konselor memberikan kesempatan bertanya kepada setiap konseli tentang permasalahan yang dialami selama ini; (2) Konselor mencatat dan memahami setiap masalah konseli; (3) Konselor meranking masalah konseli sehingga disepakati masalah mana yang perlu dibahas.
f.        Memilih dan Menerapkan Strategi: (1) Konselor mengajak konseli untuk memilih strategi konseling kelompok; (2) Konselor menerapkan strategi yang dipilih dengan menerapkan langkah-langkah sebagai berikut:
1)      Rasionalisasi, yaitu menjelaskan mengapa menggunakan strategi itu.
2)      Memberikan contoh: konselor memberikan contoh pada konseli tentang menerapkan strategi yang dipilih.
3)      Melatih konseli untuk menerapkan strategi yang dipilih.
4)      Konselor memberikan PR kepada konseli


g.       Assessment dan Follow Up
Konselor melakukan diskusi dengan para konseli untuk menanyakan apakah konseli sudah menerapkan strategi yang dipilih dan bagaimana hasilnya dalam mengubah perilaku yang diinginkan. Langkah konseling kelompok menurut Zainal Aqib (2012:132-134) sebagai berikut: (1) Pembentukan, yaitu: a) Guru BK menerima seluruh anggota dengan bersalaman, berdoa bersama mengucapkan salam; b) Menjelaskan pengertian, tujuan, tata cara kegiatan konseling kelompok, asas-asas, menegaskan kesanggupan menaati asas kerahasiaan konseling kelompok; (2) Peralihan: a) menanyakan kesiapan anggota kelompok; b) memberikan contoh masalah pribadi yang akan dibahas dalam kegiatan konseling kelompok. (3) Kegiatan: a) setiap peserta mengemukakan masalah pribadi yang dihadapi; b) memilih bahan yang akan dibahas; c) membahas masalah yang sudah dipilih dengan tanya jawab antara yang mempunyai masalah dengan anggota kelompok. (4) Pengakhiran: a) menjelaskan konseling kelompok akan diakhiri; b) menanyakan manfaat konseling kelompok; c) menjelaskan kegiatan lanjutan; d) menanyakan kesan dan pesan kepada anggota kelompok; e) guru BK mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota kelompok atas terlaksananya kegiatan konseling kelompok ini; f) berdoa; g) diakhiri dengan salam penutup dan berjabat tangan, kemudian anggota kelompok meninggalkan ruang konseling kelompok.

5.      Strategi Pelatihan Asertif
Pelatihan asertif merupakan latihan keterampilan sosial yang diberikan pada individu yang diganggu kecemasan, tidak mampu mempertahankan hak-haknya, terlalu lemah, membiarkan orang lain merongrong dirinya, tidak mampu mengekspresikan amarahnya dengan benar dan cepat tersinggung. Prosedur dasar dalam pelatihan asertif (Assertive Trainning):
1.      Mengajarkan perbedaan antara asertif, agresif, non-agresif dan sopan.
2.      Membantu individu mengidentifikasi dan menerima hak-hak pribadi dirinya dan orang lain.
3.      Mengurangi hambatan kognitif dan afektif yang menghambat aktualisasi sikap asertif.
4.      Mengembangkan ketrampilan perilaku asertif secara langsung melalui praktik-praktik di dalam pelatihan.

C.     Pengaruh Penerapan Strategi Pelatihan Asertif dalam Konseling Kelompok terhadap Asertivitas Siswa
Pelatihan Asertif berpengaruh terhadap perilaku asertif siswa. Siswa diajarkan untuk bersikap asertif dalam strategi ini. Hal ini bertujuan agar siswa dapat tumbuh menjadi individu yang tegas, mandiri, dan bertanggung jawab sehingga dapat menjalani tahap-tahap perkembangannya dengan baik, menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupannya secara tegas dan mandiri. Pelatihan asertif berpengaruh terhadap peningkatan perilaku asertif siswa SMP (Anima, Indonesian Psycological Journal 2005).




BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bab ini akan disajikan mengenai rancangan penelitian, populasi dan sampel, metode pengumpulan data serta metode analisis data.
A.     Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian praeksperimental dengan rancangan One Group Pretest-Posttest Design, yang bertujuan untuk mengetahui taraf signifikansi pengaruh pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa. Rancangan penelitian ini diuraikan pada gambar 3.1 berikut.

Prestest                                   Treatment                               Posttest
Text Box: O1     X    O2
 


Rancangan Penelitian One Group Pretest-Posttest Design

Keterangan
O1 adalah pretest (Pengukuran asertivitas siswa sebelum diberikan treatment)
O2 adalah posttest (Pengukuran asertivitas siswa setelah diberikan treatment)
X  adalah treatment

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) mengumpulkan data asertivitas siswa dengan menggunakan skala pengukuran perilaku asertif; (2) memberikan treatment berupa menyelenggarakan konseling kelompok dengan menggunakan strategi pelatihan asertif dengan langkah-langkah sebagai berikut: a) membentuk kelompok, pada tahap ini konselor mengucapkan salam kepada anggota kelompok, konselor juga mengajak anggota kelompok untuk memberi nama kelompok. b) menanamkan hubungan baik yaitu konselor memperkenalkan diri terlebih dahulu setelah itu anggota kelompok juga satu persatu memperkenalkan diri mereka masing-masing secara bergantian dan mengajak seluruh anggota kelompok untuk bernyanyi bersama-sama. c) membentuk norma kelompok dan menjelaskan asas dan tujuan konseling kelompok, yaitu konselor menjelaskan pentingnya tata tertib dalam pelaksanaan konseling kelompok lalu membagikan draf untuk memusyawarahkan tata tertib pelaksanaan konseling kelompok dan anggota kelompok saling memberikan tanggapan. d) identifikasi kasus, konselor mulai menggali masalah konseli dengan cara menanyakan satu persatu masalah yang dialami masing-masing anggota konseling kelompok. Setelah itu anggota kelompok memusyawarahkan dan memilih masalah siapa yang akan dibahas terlebih dahulu. Setelah memilih satu masalah yang akan dibahas terlebih dahulu konselor  menggali masalah konseli dengan meminta konseli untuk menceritakan kembali secara detail masalah yang dialaminya dan anggota kelompok yang lain menyimak dan saling memberikan tanggapan yang berhubungan dengan masalah konseli. e) menerapkan strategi pelatihan asertif, yaitu setelah masalah konseli selesai digali konselor memilih strategi yang sesuai dengan permasalahan yang dialami konseli. Lalu konselor menjelaskan secara rinci tentang strategi tersebut, konselor juga menjelaskan alasannya mengapa menggunakan strategi tersebut, tujuannya menggunakan strategi tersebut serta mengajarkan kepada konseli bagaimana menggunakan dan langkah-langkah dalam strategi tersebut dengan cara memberi contoh penerapan strategi tersebut, melatih konseli beserta anggota kelompok untuk dapat menerapkan strategi tersebut dalam kehidupan sehari-hari, dan memberi pekerjaan rumah agar mereka dapat mengaplikasikan strategi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahap ini konselor membagi anggota kelompok ini menjadi 2, 4 orang sebagai kelompok pengamat dan 4 orang sebagai pelaku. Pada saat kelompok pelaku mulai berlatih strategi pelatihan asertif kelompok pengamat hanya mengamati saja serta mengevaluasi apa yang masih kurang dalam latihan asertif yang dilakukan kelompok pelaku dan merefleksi diri mereka sendiri dari apa yang dilakukan oleh kelompok pelaku dengan cara mengambil hal-hal positif apa saja yang seharusnya diambil dan begitu pula sebaliknya. Refleksi diri tersebut digunakan sebagai bahan PR mereka di rumah untuk instropeksi diri mereka masing-masing.setelah itu mereka mereview kembali apa yang telah diajarkan konselor kepada anggota kelompok.  f) Assesment dan Follow Up yaitu, konselor mengukur perilaku asertif konseli dengan memberikan skala pengukuran perilaku asertif kepada konseli setelah diberikan perlakuan. Penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok tersebut apakah ada pengaruhnya terhadap asertivitas siswa atau tidak. Setelah itu, konselor memfollow up anggota kelompok terkait penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok dengan menanyakan kepada anggota kelompok bagaimana perasaannya saat ini setelah melakukan latihan asertif dan pengaruhnya bagi masing-masing anggota kelompok. Lalu konselor memberikan skala pengukuran perilaku asertif sebagai hasil post-test yaitu hasil penelitian setelah diberikan perlakuan. Konseling kelompok ini dilakukan sebanyak 6 kali tatap muka (satu kali tatap muka 45 menit).
(3) melakukan uji Wilcoxon Signed Rank Test dengan bantuan SPSS for Windows versi 16.0 untuk menghitung apakah ada pengaruh penerapan strategi pelatihan asertif tersebut dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa kelas VII SMP Al-Huda Surabaya; (4) menarik suatu simpulan dari uji Wilcoxon tersebut.





B.     Populasi dan Sampel
1.      Populasi Penelitian
Penelitian ini mengambil populasi seluruh siswa kelas VII SMP AL-HUDA Surabaya dalam semester ganjil tahun 2014/2015 sejumlah 80 orang siswa yang terdiri dari 2 kelas, yaitu kelas VII A (40 siswa) dan VII B (40 siswa). Rincian populasi penelitian ini diuraikan pada tabel 3.2 sebagai berikut.
Tabel 3.1
Populasi siswa kelas VII A dan VII B
SMP AL-HUDA SURABAYA
No.
Kelas
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-Laki
Perempuan
1.
VII A
13
27
40
2.
VII B
18
22
40
Jumlah
31
49
80

2.      Sampel Penelitian
Sampel Penelitian ini adalah 8 siswa kelas VII SMP AL-HUDA Surabaya yang diambil secara purposive sampling dari anggota populasi dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) membuat skala pengukuran perilaku asertif; (2) memberikan skala pengukuran perilaku asertif kepada siswa kelas VII SMP AL-HUDA Surabaya; (3) menghitung skor skala pengukuran perilaku asertif masing-masing siswa; (4) mengumpulkan siswa yang memiliki skor terendah untuk diberi treatment konseling kelompok. Rincian semua anggota sampel penelitian (subyek penelitian) diuraikan pada tabel 3.3 sebagai berikut.

Tabel 3.2
Sampel Penelitian kelas VII
SMP AL-HUDA Surabaya
No.
Kelas
Jenis Kelamin
Jumlah Siswa
Jumlah Sampel
Laki-Laki
Perempuan
1.
VII A
13
27
40
4
2.
VII B
18
22
40
4
Jumlah


80
8






C.     Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data-data penelitian ini dilakukan dengan cara mengerjakan lembar skala pengukuran oleh para siswa yang ditunjuk sebagai subjek penelitian. Prosedur yang dilakukan dalam memberikan lembar skala pengukuran kepada siswa sebagai subjek penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) menciptakan hubungan baik (rapport) kepada para siswa yang ditunjuk sebagai subjek penelitian, dengan cara melakukan perkenalan, menjelaskan tujuan pengumpulan data, dan menegaskan bahwa hasil pengukuran ini tidak ada kaitannya dengan nilai mata pelajaran siswa; (2) menjelaskan petunjuk cara mengerjakan lembar skala pengukuran; (3) membagikan lembar skala pengukuran kepada para siswa yang ditunjuk sebagai subjek penelitian untuk dikerjakan sebaik-baiknya; (4) mengumpulkan lembar skala pengukuran setiap subjek yang telah dikerjakan, kemudian diberi skor sesuai ketentuan standar. Lebih rinci akan dijelaskan tentang skala pengukuran, validitas serta reliabilitas pengembangan skala pengukuran yaitu:
1.      Skala Pengukuran
Untuk mengumpulkan data-data penelitian, digunakan skala pengukuran yang terdiri dari satu macam, yaitu sebagai berikut.
a)      Skala pengukuran perilaku asertif siswa digunakan untuk mengukur variabel asertivitas siswa.
Skala pengukuran tersebut dirancang menggunakan adaptasi skala likert (likert scale) dengan 4 pilihan jawaban, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS), yang dikembangkan oleh peneliti melalui prosedur validitas isi (content validity) dan dilakukan uji coba (try out). Penskoran skala penelitian menggunakan penskalaan subjek. Pernyataan positif diberi skor 4 untuk sangat setuju (SS), 3 untuk setuju (S), 2 untuk tidak setuju (TS), dan 1 untuk sangat tidak setuju (STS). Sedangkan pernyataan negatif diberi skor 1 untuk sangat setuju (SS), 2 untuk setuju (S), 3 untuk tidak setuju (TS) dan 4 untuk sangat tidak setuju (STS).
Prosedur pengembangan skala ini adalah sebagai berikut. Pertama, mendefinisikan variabel penelitian secara operasional, yaitu variabel asertivitas siswa. Kedua, mengembangkan blue-print skala pengukuran, yaitu blue-print pengembangan skala pengukuran perilaku asertif siswa. Ketiga, menyusun butir pengembangan skala pengukuran perilaku asertif siswa. Keempat, melakukan telaah ahli (expert review) sebagai acuan merevisi skala pengukuran. Kelima, melakukan uji coba (try out) untuk menemukan validitas skala pengukuran perilaku asertif siswa berdasarkan koefisien korelasi butir total Alpha Cronbach.
Konstruk Skala Pengukuran Perilaku Asertif Siswa dikembangkan berdasarkan enam kriteria perilaku asertif, yaitu: (1) Ekspresi perasaan yang positif dan negatif; (2) Keberanian mengungkapkan ide; (3) Keberanian mengajukan pertanyaan; (4) Pandangan tentang diri; (5) Pandangan tentang hidup; (6) Intensitas Komunikasi. Ekspresi perasaan yang positif dan negatif berisi 4 butir, keberanian mengungkapkan ide berisi 2 butir, keberanian mengajukan pertanyaan berisi 2 butir, pandangan tentang diri berisi 5 butir, pandangan tentang hidup berisi 2 butir, dan intensitas komunikasi berisi 3 butir, sehingga jumlah keseluruhan skala pengukuran perilaku asertif siswa adalah 18 butir.
Uraian selengkapnya mengenai blue-print dan skala pengukuran perilaku asertif siswa akan disajikan pada lampiran 1 dan lampiran 2.

2.      Validitas
Skala Pengukuran Perilaku Asertif Siswa telah dilakukan uji coba (try out) kepada 34 siswa SMP AL-HUDA Surabaya, kemudian hasilnya dianalisis dengan korelasi butir-total. Analisis korelasi butir-total dimaksudkan untuk menguji validitas butir dengan ketentuan suatu butir dinyatakan valid jika koefisien korelasinya positif dan signifikan (p≤0,01). Analisis korelasi butir-total skala pengukuran perilaku asertif siswa menggunakan program SPSS for MS Windows versi 16.0. Hasil analisis korelasi butir-total Skala Pengukuran Perilaku Asertif Siswa dari 22 butir diperoleh koefisien validitas 0,496 – 0,930.


3.      Reliabilitas
Di samping uji validitas, juga dilakukan uji reliabilitas dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach sebagaimana pada program SPSS for MS Windows versi 16.0. Hasil uji reliabilitas skala pengukuran perilaku asertif siswa diuraikan pada tabel 3.4 sebagai berikut.
Tabel 3.3
Koefisien Reliabilitas Uji Coba (Try Out)
No.
Skala Pengukuran
Koefisien Reliabilitas Cronbach’s Alpha
1.
Skala Pengukuran Perilaku Asertif Siswa
0, 674

D.    Instrumen Penelitian
       Instrumen penelitian merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengumpulkan data. Penelitian ini menggunakan instrumen skala pengukuran yaitu sebuah pernyataan. Variabel yang digunakan yaitu variabel perilaku asertif yang dirangkum dalam sebuah pernyataan yang berjumlah 18 dengan indikator sebagai berikut.

1.      Kemampuan mengekspresikan perasaan yang sesungguhnya,
2.      Keberanian mengungkapkan ide,
3.      Keberanian mengajukan pertanyaan,
4.      Pandangan tentang diri,
5.      Pandangan tentang hidup,
6.      Intensitas komunikasi.
Dari enam indikator tersebut peneliti menggunakan jenis instrumen skala pengukuran dengan 18 item pernyataan yang berisi tentang indikator perilaku asertif yang nantinya akan dapat dilihat apakah siswa memiliki perilaku asertif.

E.     Prosedur Pengumpulan Data
       Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan di SMP AL-HUDA Surabaya dengan menyebarkan skala pengukuran perilaku asertif yang berisikan tentang indikator perilaku asertif untuk mengetahui sejauh mana responden memiliki perilaku asertif. Tahap kedua, peneliti mendapatkan delapan dari delapan puluh siswa yang memiliki perilaku asertif dengan skor pretest terendah yang kemudian diberikan perlakuan (treatment) dengan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok.

F.      Metode Analisis Data
       Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Uji Wilcoxon Signed Rank Test. Teknik analisis ini digunakan untuk menguji hipotesis pengaruh penggunaan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa. Kaidah analisis yang digunakan adalah hipotesis alternative (ha) didukung jika peluanh kesalahan (p) ≤ 0,05 atau pada taraf signifikansi 95%. Program statistika yang digunakan untuk melakukan analisis data adalah SPSS for MS Windows versi 16.0.








BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan mengenai hasil dari penelitian, uji hipotesis dan pembahasan hasil penelitian.
A.     Deskripsi Hasil Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian sebagaimana yang telah diuraikan pada bab I, variabel-variabel dalam penelitian ini adalah penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok sebagai variabel bebas dan asertivitas siswa sebagai variabel terikat.
Penelitian pengaruh penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa telah berlangsung di SMP AL-HUDA Surabaya terhitung dari tanggal 5 September 2014 sampai dengan 5 Desember 2014. Penelitian ini dilaksanakan sebanyak 6 X tatap muka dan menggunakan 8 orang siswa sebagai subjek penelitian yang dipilih sesuai dengan skor terendah dalam pengukuran skala perilaku asertif.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji signifikansi pengaruh penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa kelas VII SMP AL-HUDA Surabaya. Dengan kata lain, apakah intensitas asertivitas siswa kelas VII SMP AL-HUDA Surabaya dapat meningkat setelah diterapkan strategi pelatihan asertif?.
Hasil statistik asertivitas siswa sebelum dan sesudah diberikan treatment atau perlakuan penerapan strategi pelatihan asertif diuraikan pada tabel 4.1 sebagai berikut.
Tabel 4.1
Statistik Deskriptif Asertivitas Siswa (AS)
No.
Variabel
N
Rerata
Std. Deviasi

Minimum
Maximum
1
AS
T1
8
44,25
2,375
41,00
47,00
2
AS
T2
8
60,00
2,000
57,00
63,00

Tabel 4.1 di atas, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan rerata (mean) skor variabel AS (T2) setelah diterapkan strategi pelatihan asertif. Rerata (mean) skor variabel AS (T1) sebelum diterapkan strategi pelatihan asertif adalah 44,25, sedangkan rerata (mean) skor variabel AS (T2) setelah diterapkan strategi pelatihan asertif 60,00, terjadi peningkatan rerata (mean) skor variabel AS sebesar 15,75%. Dengan demikian penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok dapat meningkatkan asertivitas siswa SMP AL-HUDA Surabaya.


B.     Uji Hipotesis
       Menguji hipotesis terdapat pengaruh yang signifikan penggunaan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa didasarkan pada hasil analisis Uji Wilcoxon Signed Rank Test yang diuraikan pada tabel 4.2 kaidah yang digunakan adalah hipotesis alternatif  (Ha) yaitu ada pengaruh yang signifikan penggunaan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa, didukung jika peluang kesalahan (p) ≤ 0,05 atau pada taraf signifikan 95%, hipotesis nihil (Ho) yaitu tidak ada pengaruh yang signifikan pengaruh penggunaan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa, didukung jika peluang kesalahan (p) ≥ 0,05 atau pada taraf signifikan dibawah 95%.  Kesimpulannya yaitu ada pengaruh yang signifikan penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa kelas VII SMP AL-HUDA Surabaya, karena hasil analisis dari Uji Wilcoxon Signed Rank Test skor Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar 0,012. Skor tersebut kurang dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa kelas VII SMP AL-HUDA Surabaya.




Tabel 4.2
Rangkuman Hasil Analisis Uji Wilcoxon Signed Rank Test
Skala Perilaku Asertif Siswa Pretest dan Post-test

Posttest-Pretest
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
-2,527
0,012

C.     Pembahasan Hasil Penelitian
Penelitian pengaruh penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa dengan menggunakan One Group Pre-Test dan Post Test Design menghasilkan temuan penelitian yaitu terdapat pengaruh positif yang signifikan penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa.
            Perilaku asertif adalah sikap atau perilaku yang mampu mengekspresikan emosi secara bebas, tepat dan tegas tanpa cemas terhadap orang lain tetapi tetap memperhatikan norma yang berlaku di sekitar. Perilaku Asertif ditandai enam ciri meliputi, pertama Ekspresi perasaan yang positif dan negatif; kedua Keberanian mengungkapkan ide, ketiga Keberanian mengajukan pertanyaan, keempat Pandangan tentang diri, kelima Pandangan tentang hidup, keenam Intensitas komunikasi.
            Temuan hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan Dzakiyatus (2011) dan  penelitian yang lain juga mengatakan bahwa pelatihan asertif berpengaruh terhadap peningkatan perilaku asertif siswa-siswi SMP (Anima, Indonesian Psychological Journal 2005) yang membuktikan bahwa pengaruh penerapan strategi pelatihan asertif cukup signifikan terhadap asertivitas siswa sebesar 15,75% sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif yang signifikan penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa.
       Penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan rerata (mean) skor variabel asertivitas siswa (T2) setelah diberi perlakuan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok. Rerata (mean) skor variabel asertivitas siswa (T1) sebelum diberikan perlakuan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok 44,25, sedangkan rerata (mean) skor variabel asertivitas siswa (T2) setelah diberikan perlakuan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok menjadi 60,00, terjadi peningkatan rerata (mean) skor asertivitas siswa sebesar 15,75%. Dengan demikian penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok dapat meningkatkan asertivitas siswa kelas VII SMP AL-HUDA Surabaya. Dengan demikian, keberadaan bimbingan dan konseling (BK) pada setting persekolahan senantiasa mampu memberikan manfaat dan kontribusi dalam upaya peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan.     


BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka pada bab ini akan diuraikan simpulan dan saran.
A.     Simpulan
Hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab IV dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif yang signifikan penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa kelas VII SMP AL-HUDA Surabaya.
B.     Saran
       Bukti bahwa terdapat pengaruh positif yang signifikan penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa kelas VII SMP AL-HUDA Surabaya, maka dapat diberikan saran sebagai berikut.
1.      Untuk meningkatkan asertivitas siswa maka perlu diterapkan strategi pelatihan asertif.
2.      Strategi pelatihan asertif tidak hanya diberikan pada siswa kelas VII SMP, akan tetapi perlu diberikan semenjak duduk di bangku SD maupun pada tahap pertumbuhan dan perkembangan.
3.      Akan lebih baik dan sempurna apabila strategi pelatihan asertif diterapkan dan dikembangkan pada sekolah menengah di seluruh wilayah Indonesia, serta dalam pelaksanaannya orang tua turut andil untuk memantau perkembangan belajar putra-putrinya.
4.      Strategi pelatihan asertif sangat diperlukan di sekolah agar siswa mampu memahami dirinya, menguasai emosinya, memahami lingkungan sekitar dan mampu menolak hal-hal negatif dari lingkungan sekitarnya.
5.      Sepatutnya seorang guru BK atau Konselor menguasai strategi Pelatihan Asertif karena strategi ini sangat penting untuk dikuasai oleh konselor atau Guru BK.
6.      Penerapan Strategi Pelatihan Asertif dalam Konseling Kelompok dapat meningkatkan asertivitas siswa. Oleh karena itu, penerapan strategi ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif bagi konselor dalam melaksanakan kegiatan bimbingan untuk meningkatkan asertivitas siswa SMP. Hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan strategi ini yakni latihan asertif yang telah diajarkan oleh konselor ini dilakukan secara rutin oleh konseli.







                          DAFTAR PUSTAKA

Alberti, R. & Emmons, M. 2002. Your Perfect Right (Alih Bahasa:Budi tjahya, U.G.). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Alberti, R. dan Emmons, R. 2002. Your Perfect Right: Panduan Praktis Hidup lebih Ekspresif dan Jujur pada Diri Sendiri. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Alberti, R.E. & Emmons, M.L. 1975. Stand Up, Speak Out, Talk Back. New York:Pocket Books. (etzawijayanti.blogspot.com, diakses tanggal 01 Juli 2014 pukul 08.30 WIB).
Anima Indonesian Psyhcological Journal 2005, Vol.20. No.2., 149-168 (library.um.ac.id, diakses pada tanggal 25 Juli 2014 pukul 18.30 WIB).
Ardiah, 2003. Ego dan Perilaku Merokok Remaja. Yogyakarta: Andi.
Artikel S. Weni Nur 2012 UNY (perilaku asertif, diakses pada tanggal 25 Juli 2014 pukul 18.00 WIB).
Azwar, Syarifudin. 2000. Reliabilitas dan Validitas Data. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Bloom, L. Z. , Coburn, K. , Pearham, J. 1985. The Assertive Women. NY: Dell Publishing Co. Inc.
Devito, J.A. (1986) . The Interpersonal Development (2nd ed). USA: Brown&Benhchmark Pub.
Fensterheim, H. dan Baer, J. 1980. Jangan Bilang Ya Bila Anda Akan Mengatakan Tidak. Jakarta: Gunung Jati.
Hadi, S. 2000. Metodologi Research Jilid 1. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Hadi, S. 2000. Metodologi Research Jilid 3. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Hallen A. 2005. Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Quantum Teaching.
Hidayat, A. R. 2000. Asertivitas dan Kreativitas Remaja. Yogyakarta: Andi.
Khan, S.E. 1979. Adding Affect to Assertion Taraining. The Personal Guidance Journal, 57 P 424-426, (www.academia.edu, diakses tanggal 18 Agustus 2014 pukul 09.30 WIB)
Khusna, M. 2002. Melatih Asertifitas untuk Meningkatkan Prestasi Belajar. Yogyakarta: Andi.
Lazarus, R. S. 1996. Pattern of Adjustment. N.Y: McGraw-Hiil Book Co.
Marini, Liza &Andriani Elvi. (2005). Perbedaan Asertivitas Remaja ditinjau dari Pola Asuh Orang Tua. Jurnal Psikologi Universitas Sumatera Utara. Vol.1. no.2. 46-53, (elisa1.ugm.ac.id, diakses tanggal 18 Agustus 2014 pukul 09.00 WIB)
Martanti, R. H. 2002. Perbedaan Perilaku Asertif antara Siswa IPA dan Siswa IPS SMU Negeri 1 Kebumen. Skripsi Yogyakarta: F. Psi. UGM.
Mulyani, S. 1989. Perbedaan Perilaku Asertif Ditinjau dari Locus of Control dan Kepercayaan Antar Pribadi Antara Suami Maupun Istri Ketika menghadapi Konflik. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Nursalim, Mochammad, dkk. 2005. Strategi Konseling. Surabaya: Unesa University Press.
Prabana, (1997). Perbedaan Asertivitas Remaja Ditinjau dari Status Sosial Ekonomi Orang Tua dan Jenis Kelamin. (Skripsi-Tidak diterbitkan) Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Prayitno. 1995. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Prayitno. 2001. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Rahmawati, S. 1994. Hubungan Antara Assertivitas dan Locus of Control dengan Kepuasan Kerja. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Rakos, R.F. (1991). Assertive Behavior:Theory,Research&Training. New York: Routledge, Chapman&Hall inc.
Rathus, S.A. dan Nevid, J.S. 1983. Adjustment and Growth: The Challenges of Life (2nd ed). New York: CBS College Publishing.
Sekardi, Dewa Ketut. 2000. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Simmons, S.,& Simmons, J.C., J.r. (1997). Measuring emotional intelligence:the ground breaking guide to applying the principles of emotional intelligence Arlington, Texas: The Summit Pub.Grup, (repository.usu.ac.id, diakses tanggal 19 Agustus 2014 pukul 09.00 WIB)
Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Hal: 117.
Walgito, Bimo. 2004. Bimbingan dan Konseling (Studi dan Karier). Yogyakarta: Andi.
Wibowo, Mungin Edi. 2005. Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang: UNNES Press.
Willis, L. dan Daisley, J. 1995. The Assertive Trainer: A Practical Handbook Assertiveness of Trainers and Running Assertiveness Course. USA: Mc. Graw Hill, (eprints.undip.ac.id, diakses tanggal 19 Agustus 2014 pukul 08.30 WIB)
Winkel. 2004. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia
Zastrow, C.A. (1977). The Stability of Aggressive Behavior: A Meta Analysis Journal of Psyhcology,18,273-281, (repository.usu.ac.id, diakses tanggal 18 Agustus 2014 pukul 10.00 WIB)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar