Senin, 13 Juni 2016

Konseling Perkawinan dan Konseling Keluarga

KONSELING PERKAWINAN

A. Pengertian Konseling Perkawinan
Klemer (1965) mengartikan Konseling Perkawinan sebagai konseling yang diselenggarakannya sebagai metode pendidikan, metode penurunan ketegangan emosional, metode membantu partner-partner yang menikah untuk memecahkan masalah dan cedera, menentukan pola pemecahan masalah yang lebih baik. Dikatakan sebagai metode pendidikan karena konseling perkawinan memberikan pemahaman kepada pasangan yang berkonsultasi tentang diri, pasangannya dan masalah-masalah hubungan perkawinan yang dihadapi serta cara-cara yang dapat dilakukan dalam mengatasi permasalahan perkawinan.
Penurunan ketegangan emosional dimaksudkan sebagai konseling perkawinan yang biasanya dilaksanakan saat kedua belah pihak berada pada situasi emosional yang sangat berat. Dengan konseling, paaangan dapat melakukan ventilisasi dengan jalan membuka emosionalnya sebagai katarsis terhadap tekanan-tekanan emosional yang dihadapinya selama ini. Yang membantu disebut konselor, seorang konselor bukan subyek karena konselor hanya membantu. Subyeknya adalah klien itu sendiri dan obyeknya adalah masalah yang dihadapinya. Yang dapat dilakukan oleh seorang konselor antara lain membantu klien untuk:
1. Memahami diri sendiri
2. Mengukur kemampuannya
3. Mengetahui kesiapan dan kecenderungannya
4. Memperjelas orientasi, motivasi dan aspirasinya
5. Mengetahui kesulitan dan problem lingkungan dimana ia hidup serta peluang yang terbuka baginya
6. Membantu menggunakan pengetahuan tersebut (1-5) untuk menetapkan tujuan yang paling konkrit bagi dirinya
7. Mendorong klien untuk berani mengambil keputusan yang sesuai dengan kemampuannya dan memanfaatkan seoptimal mungkin potensi yang ada pada dirinya untuk merebut peluang yang terbuka.
Jika konselinya orang awam, konseling dibutuhkan untuk:
a. Membantu pengembangan diri dan memilih gaya hidup (lige style) yang sesuai dengan aspirasinya.
b. Menjaga agar mereka tidak terjatuh pada keadaan merasa tidak wajar dan tidak bahagia.
c. Membantu menentukan pilihan-pilihan.
d. Membantu meringankan perasaan, frustasi dan sebangsanya.
Seorang konseli yang semula mengidap rasa keterasingan, asing dari diri sendiri, asing dari problem yang dihadapi, asing dari lingkungan hidupnya sehingga dia tidak tahu masalahnya dan tidak berani mengambil tindakan bahkan tidak lagi tahu apa yang diinginkan, dapat dibantu memecahkan persoalannya dengan langkah-langkah sebagai berikut:

B. Wilayah Konseling Perkawinan
C. Tujuan Umum Konseling Perkawinan
D. Tipe-Tipe Perkawinan
E. Penghulu yang Ideal


1.      Diajak memahami realita apa sebenarnya yang sedang dihadapi, mislnya ditinggal mati orang yang dicintai, dicerai suami, kehilangan jabatan, kehilangan harta, kehilangan kekasih, sakit yang berklepanjangan, dikhiananti bawahan, dizalimi oleh orang yang selama ini dibantu dan sebagainya; bahwa realita itu adalah benar-benar realita dan harus diterima, suka atau tidak suka karena itu memang realita.
2.      Diajak kembali mengenali siapa dirinya, apa posisinya, dan apa kemampuan-kemampuan yang dimiliki. Misalnya diingatkan bahwa ia adalah seorang ayah dari anak-anak yang membutuhkan kehadirannya. Atau bahwa kepandaiannya banyak dibutuhkan orang lain, atau bahwa dia adalah hamba Allah yang tidak bisa menghindar dari kehendak Nya, dan apa yang dialami adalah bagian dari kehendak Nya yang kita belum tahu apa maksud dan hikmahnya.
3.      Mengajak klien memahami keadaan yang sedang berlangsung di sekitarnya, bahwa keadaan memang selalu berubah; misalnya perubahan nilai, perubahan struktur, perubahan zaman, dan bahwa perubahan adalah sunnatullah yang tidak bisa ditolak, tetapi yang penting bagaimana kita mensikapi dan mengantisipasi perubahan itu.
4.      Diajak untuk meyakini bahwa Tuhan itu Maha Adil, maha Pengasih, maha Mengetahui, maha Pengampun, dan semua manusia diberi peluang oleh Tuhan. Juga diajak meyakini bahwa dengki, iri hati dan putus asa adalah tercela dan tidak berguna. Bahwa berbuat dan salah itu lebih baik daripada tidak berbuat karena takur salah.

B.     Wilayah Konseling Perkawinan
Problem diseputar perkawinan atau kehidupan berkeluarga biasanya berada di sekitar :
1.        Kesulitan memilih jodoh, suami atau isteri.
2.        Ekonomi yang kurang mencukupi.
3.        Perbedaan watak, temperamen dan karakter yang terlalu tajam antara suami dan isteri.
4.        Ketidakpuasan dalam hubungan seksual.
5.        Kejenuhan rutinitas.
6.        Hubungan antar keluarga besan yang kurang baik.
7.        Ada orang ketiga, WIL atau PIL.
8.        Masalah harta warisan.
9.        Dominasi orang tua/mertua.
10.    Kesalahpahaman antara suami isteri.
11.    Poligami.
12.    Perceraian


C.     Tujuan Umum Konseling Perkawinan
Tujuan konselingperkawinan adalah agar klien dapat menjalani kehidupan berumah tangga secara benar, bahagia dan mampu mengatasi problem-problem yang timbul dalam kehidupan perkawinan. Oleh karena itu maka konseling perkawinan pada prinsipnya berisi dorongan untuk menghayati atau menghayati kembali prinsip-prinsip dasar, hikmah, tujuan dan tuntunan hidup berumah tangga menurut ajaran Islam. Konseling diberikan agar suami/istri menyadari kembali posisi masing- masing dalam keluarga dan mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang terbaik bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya. Jika memperhatikan kasus perkasus maka konseling perkawinan diberikan dengan tujuan :
1.      Membantu pasangan perkawinan itu mencegah terja¬dinya/meletus problema yang mengganggu kehidupan perkawinan mereka.
2.      Pada pasangan yang sedang dilanda kemelut rumah tangga, Konseling diberikan dengan maksud agar mereka bisa mengatasi sendiri problema yang sedang dihadapi.
3.      Pada pasangan yang berada dalam tahap rehabilitasi, konseling diberikan agar mereka dapat memelihara kondisi yang sudah baik menjadi lebih baik.
D.    Tipe tipe Perkawinan
1.      Conflict-habituated
Tipe conflict-habituated boleh dibilang sebagai “partner in crime”. Tipe ini adalah tipe pasangan yang jatuh dalam kebiasaan mengomel dan bertengkar tiada henti. Kebiasaan ini menjadi semacam “jalan hidup” bagi mereka. Tak heran kalau secara konstan mereka selalu menemukan ketidaksepakatan. Dengan kata lain, stimulasi perbedaan individu dan konflik justru mendukung kebersamaan pasangan tersebut.
2.      Devitalized
Tipe hubungan devitalized merupakan karakteristik pasangan yang sekali waktu dapat mengembangkan rasa cinta, menikmati seks, dan satu sama lain saling menghargai. Namun mereka cenderung merasakan kehampaan hidup perkawinan kendati tetap berada bersama-sama. Karena kebersamaan mereka lebih karena dorongan demi anak atau citra mereka dalam komunitas masyarakat. Menariknya, pasangan tipe ini tak merasa dirinya maupun perkawinannya tidak bahagia. Mereka berfikir bahwa kondisi saat ini merupakan hal biasa setelah berlalunya tahun-tahun penuh gairah. Ironisnya, tipe perkawinan inilah yang paling banyak ditemukan dalam masyarakat mana pun.
3.      Passive-congenial
Pada dasarnya, pasangan tipe passive-congenial memiliki kesamaan dengan pasangan tipe devitalized. Hanya saja kehampaan yang dirasakan telah berlangsung sejak awal perkawinan. Boleh jadi karena perkawinan seperti ini biasanya berangkat dari berbagai pertimbangan ekonomis atau status sosial dan bukannya relasi emosional. Seperti halnya pasangan tipe devitalized yang minim keterlibatan emosi, pasangan passive-congenial juga tidak terlalu berkonflik, namun kurang puas menjalani perkawinannya. Dalam keseharian, pasangan-pasangan tipe ini lebih sering saling menghindar dan bukannya saling peduli.
4.      Utilitarian
Berbeda dengan tipe-tipe lain, tipe utilitarian lebih menekankan peran ketimbang hubungan. Misalkan peran sebagai ibu, ayah atau peran-peran lain. Terdapat perbedaan sangat kontras bila dibandingkan dengan tipe vital dan total yang bersifat intrinsik, yaitu mengutamakan relasi perkawinan itu sendiri.
5.      Vital
Cirinya, pasangan suami-istri terikat satu sama lain, terutama oleh relasi pribadi antara yang satu dengan yang lain. Di dalam relasi tersebut, satu sama lain saling peduli untuk memuaskan kebutuhan psikologis pihak lain. Mereka berdua pun saling berbagi dalam melakukan berbagai aktivitas kendati masing-masing individu memiliki identitas kepribadian yang kuat. Yang mengesankan, komunikasi mereka mengandung kejujuran dan keterbukaan. Kalaupun mengalami konflik biasanya lantaran ada hal-hal yang sangat penting. Untungnya, baik suami maupun istri saling berupaya menyelesaikannya dengan cepat dan bijak. Tentu saja tipe ini merupakan tipe relasi perkawinan yang paling memuaskan. Tak heran kalau tipe ini paling sedikit persentasenya dalam masyarakat.
6.      Total
Tipe ini memiliki banyak kesamaan dengan tipe vital, bedanya pasangan ini sedemikian saling menyatu hingga menjadi “sedaging”. Mereka selalu dalam kebersamaan secara total yang meminimalkan adanya pengalaman pribadi dan konflik. Akan tetapi tidak seperti pasangan tipe devitalized, kesepakatan di antara mereka biasanya dibangun demi hubungan itu sendiri. Sayangnya, tipe perkawinan seperti ini sangat jarang.


E.     Penghulu yang ideal
Penghulu bukan hanya petugas pencatat nikah, tetapi jabatan kepenghuluan memiliki wilayah horizontal dan vertical. Oleh karena itu idealnya seorang penghulu bukan saja menguasai bidang-bidang tersebut diatas (1 s/d 12) tetapi juga menguasai psikologi keluarga, yang dengan itu penghulu bukan hanya bisa memberi nasehat perkawinan, tetapi juga bisa menjadi konselor perkawinan . Seorang muballigh dituntut untuk mampu berbicara agar orang-orang enak mendengarnya, sedang seorang konselor dituntut untuk sangggup menjadi pendengar yang baik dari keluhan-keluhan klien. Seorang klien terkadang tidak membutuhkan nasehat, tetapi hanya butuh tempat curah perhatian (curhat), karena begitu curhat beban menjadi ringan. Jika sudah merasa ringan kok dinasehati, maka nasehat itu sendiri menjadi beban.


_________________________________________________________________________

KONSELING KELUARGA


A.    Pengertian Konseling Keluarga
Konseling adalah bantuan yang diberikan oleh seseorang pembimbing (konselor) kepada seseorang konseli atau sekelompok konseli (klien, terbimbing, seseorang yang memiliki problem) untuk mengatasi problemnya dengan jalan wawancara dengan maksud agar klien atau sekelompok klien tersebut mengerti lebih jelas tentang problemnya sendiri dan memecahkan problemnya sendiri sesuai dengan kemampuannya dengan mempelajari saran-saran yang diterima dari Konselor. Sedangkan arti dari keluarga adalah suatu ikatan persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak-anak, baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.
Konseling keluarga pada dasarnya merupakan penerapan konseling pada situasi yang khusus. Konseling keluarga ini secara memfokuskan pada masalah-masalah berhubungan dengan situasi keluarga dan penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga. Menurut D. Stanton konseling keluarga dapat dikatakan sebagai konselor terutama konselor non keluarga, yaitu konseling keluarga sebagai (1) sebuah modalitas yaitu klien adalah anggota dari suatu kelompok, yang (2) dalam proses konseling melibatkan keluarga inti atau pasangan ( Capuzzi, 1991 )
Konseling keluarga memandang keluarga secara keseluruhan bahwa anggota keluarga adalah bagian yang tidak mungkin dipisahkan dari anak (klien) baik dalam melihat permasalahannya maupun penyelesaiannya. Sebagai suatu system, permasalahan yang dialami seorang anggota keluarga akan efektif diatasi jika melibatkan anggota keluarga yang lain. Pada mulanya konseling keluarga terutama diarahkan untuk membantu anak agar dapat beradaptasi lebih baik untuk mempelajari lingkungannya melalui perbaikan lingkungan keluarganya (Brammer dan Shostrom,1982). Yang menjadi klien adalah orang yang memiliki masalah pertumbuhan di dalam keluarga. Sedangkan masalah yang dihadapi adalah menetapkan apa kebutuhan dia dan apa yang akan dikerjakan agar tetap survive di dalam sistem keluarganya.
Pada masa lalu, menurut Moursund (1990), konseling keluarga terfokus pada salah satu atau dua hal, yaitu (1) keluarga terfokus pada anak yang mengalami bantuan yang berat seperti gangguan perkembangan dan skizofrenia, yang menunjukan jelas-jelas mengalami gangguan; dan (2) keluarga yang salah satu atau kedua orang tua tidak memiliki kemampuan, menelantarkan anggota keluarganya, salah dalam member kelola anggota keluarga, dan biasanya memiliki sebagian masalah.
Anak di dalam suatu keluarga sering kali mengalami masalah dan berada dalam kondisi yang tidak berdaya di bawah tekanan dan kekuasaan orang tua. Permasalahan anak adakalanya diketahui oleh orang tua dan sering kali tidak diketahui orang tua. Permasalahan yang diketahui orang tua jika fungsi-fungsi psikososial dan pendidikannya terganggu orang tua akan mengantarkan anaknya ke konselor jika mereka memahami bahwa anaknya sedang mengalami gangguan yang berat. Karena itu konseling keluarga lebih banyak memberikan pelayanan terhadap keluarga dengan anak yang mengalami gangguan.
Hal kedua berhubungan dengan keadaan orang tua. Banyak dijumpai orang tua tidak berkemampuan dalam mengelola rumah tangganya, menelantarkan kehidupan rumah tangganya sehingga tidak terjadi kondisi yang berkesinambungan dan penuh konflik, atau memberi perlakuan secara salah (ubuse) pada anggota keluarga lain, dan sebagainya merupakan keluarga yang memiliki berbagai masalah. Jika mengerti dan berkeinginan untuk membangun kehidupan keluarga yanag lebih stabil, mereka membutuhkan konseling.
Perkembangan belakangan konseling keluarga tidak hanya menangani dua hal tersebut. Permasalahan lain yang juga ditangani karena anggota keluarga mengalami kondisi yang kurang harmonis di dalam keluarga akibat stressor perubahan-perubahan budaya, cara-cara baru dalam mengatur keluargannya, dan cara menghadapi dan mendidik anak-anak mereka. Berdasarkan pengalaman dalam penanganan konseling keluarga, masalah yang dihadapi dan dikonsultasikan kepada konselor antara lain: keluarga dengan anak yang tidak patuh terhadap harapan orangtua, konflik antar anggota keluarga, perpisahan diantara anggota keluarga karena kerja di luar daerah dan anak yang mengalami kesulitan belajar atau sosialisasi.
Berbagai permasalahan-permasalahan keluarga tersebut dapat diselesaikan melalui konseling keluarga. Konseling keluarga menjadi efektif untuk mengatasi masalah-masalah tersebut jika semua anggota keluarga bersedia untuk mengubah system keluarganya yang telah ada dengan cara-cara baru untuk membantu mengatasi anggota keluarga yang bermasalah.
Sebagaimana di kemukakan di bagian awal, konseling keluarga dalam beberapa hal memiliki keuntungan. Namun demikian konseling keluarga juga memiliki beberapa hambatan dalam pelaksanaannya, dan perlu dipertimbangkan oleh konselor jika bermaksud melakukannya. Hambatan yang dimaksud di antarannya:
1.      Tidak semua anggota keluarga bersedia terlibat dalam proses konseling karena mereka menganggap tidak berkepentingan dengan usaha ini, atau karena alasan kesibukan, dan sebagainya; dan
2.      Ada anggota keluarga yang merasa kasulitan untuk menyampaikan perasaan dan sikapnya secara terbuka dihadapan anggota keluarga lain, padahal konseling membutuhkan keterbukaan ini dan saling percayaan satu sama lain.


B.     Pendekatan Konseling Keluarga
Untuk memahami mengapa suatu keluarga bermasalah dan bagaimana cara mengatasi masalah-masalah keluarga tersebut, berikut akan dideskripsikan secara singkat beberapa pendekatan konseling keluarga. Tiga pendekatan konseling keluarga yang akan diuraikan berikut ini, yaitu pendekatan system, conjoint, dan struktural.
1.    Pendekatan Sistem Keluarga.
Murray Bowen merupakan peletek dasar konseling keluarga pendekatan sistem. Menurutnya anggota keluarga itu bermasalah jika keluarga itu tidak berfungsi (disfunctining family). Keadaan ini terjadi karena anggota keluarga tidak dapat membebaskan dirinya dari peran dan harapan yang mengatur dalam hubungan mereka.
Menurut Bowen, dalam keluarga terdapat kekuatan yang dapat membuat anggota keluarga bersama-sama dan kekuatan itu dapat pula membuat anggota keluarga melawan yang mengarah pada individualitas. Sebagian anggota keluarga tidak dapat menghindari sistem keluarga yang emosional yaitu yang mengarahkan anggota keluarganya mengalami kesulitan (gangguan). Jika hendak menghindari dari keadaan yang tidak fungsional itu, dia harus memisahkan diri dari sistem keluarga. Dengan demikian dia harus membuat pilihan berdasarkan rasionalitasnya bukan emosionalnya.
2.    Pendekatan Conjoint.
Sedangkan menurut Sarti (1967) masalah yang dihadapi oleh anggota keluarga berhubungan dengan harga diri (self-esteem) dan komunikasi. Menurutnya, keluarga adalah fungsi penting bagi keperluan komunikasi dan kesehatan mental. Masalah terjadijika self-esteem yang dibentuk oleh keluarga itu sangat rendah dan komunikasi yang terjadi di keluarga itu juga tidak baik. Satir mengemukakan pandangannya ini berangkat dari asumsi bahwa anggota keluarga menjadi bermasalah jika tidak mampu melihat dan mendengarkan keseluruhan yang dikomunikasikan anggota keluarga yang lain.
3.    Pendekatan Struktural.
Minuchin (1974) beranggapan bahwa masalah keluarga sering terjadi karena struktur kaluarga dan pola transaksi yang dibangunn tidak tepat. Seringkali dalam membangun struktur dan transaksi ini batas-batas antara subsistem dari sistem keluarga itu tidak jelas.
Mengubah struktur dalam keluarga berarti menyusun kembali keutuhan dan menyembuhkan perpecahan antara dan seputar anggota keluarga. Oleh karena itu, jika dijumpai keluarga itu dengan memperbaiki transaksi dan pola hubungan yang baru yang lebih sesuai.
Berbagai pandangan para ahli tentang keluarga akan memperkaya pemahaman konselor untuk melihat masalah apa yang sedang terjadi, apakah soal struktur, pola komunikasi, atau batasan yang ada di keluarga, dan sebagainya. Berangkat dari analisis terhadap masalah yang dialami oleh keluarga itu konselor dapat menetapkan strategi yang tepat untuk mambantu keluarga.


C.     Tahapan Konselor Keluarga
Tahapan konseling keluarga secara garis besar dikemukakan oleh Crane (1995:231-232) yang mencoba menyusun tahapan konseling keluarga untuk mengatasi anak berperilaku oposisi. Dalam mengatasi problem, Crane menggunakan pendekatan behavioral, yang disebutkan terhadap empat tahap secara berturut-turut sebagai berikut :
1.    Orangtua membutuhkan untuk dididik dalam bentuk perilaku-perilaku alternatif. Hal ini dapat dilakukan dengan kombinasi tugas-tugas membaca dan sesi pengajaran.
2.    Setelah orang tua membaca tentang prinsip dan atau telah dijelaskan materinya, konselor menunjukan kepada orang tua bagaimana cara mengajarkan kepada anak, sedangkan orang tua melihat bagaimana melakukannya sebagai ganti pembicaraan tentang bagaimana hal inidikerjakan. Secara tipikal, orang tua akan membutuhkan contoh yang menunjukan bagaimana mengkonfrontasikan anak-anak yang beroposisi. Sangat penting menunjukan kepada orang tua yang kesulitan dalam memahami dan menetapkan cara yang tepat dalam memperlakukan anaknya.
3.    Selanjutnya orang tua mencoba mengimplementasikan prinsip-prinsip yang telah mereka pelajari menggunakan situasi sessi terapi. Terapis selama ini dapat member koreksi ika dibutuhkan.
4.    Setelah terapis memberi contoh kepada orang tua cara menangani anak secara tepat. Setelah mempelajari dalam situasi terapi, orang tua mencoba menerapkannya di rumah. Saat dicoba di rumah, konselor dapat melakukan kunjungan untuk mengamati kemajuan yang dicapai. Permasalahan dan pertanyaan yang dihadapi orang tua dapat ditanyakan pada saat ini. Jika masih diperlukan penjelasan lebih lanjut, terapis dapat memberikan contoh lanjutan di rumah dan observasi orang tua, selanjutnya orang tua mencoba sampai mereka merasa dapat menangani kesulitannya mengatasi persoalan sehubungan dengan masalah anaknya.


D.    Peran Konselor
Peran konselor dalam membantu klien dalam konseling keluarga dan perkawinan dikemukakan oleh Satir (Cottone, 1992) di antaranya sebagai berikut :
1.    Konselor berperan sebagai “facilitative a comfortable”, membantu klien melihat secara jelas dan objektif dirinya dan tindakan-tindakannya sendiri.
2.    Konselor menggunakan perlakuan atau treatment melalui setting peran interaksi.
Berusaha menghilangkan pembelaan diri dan keluarga.
3.    Membelajarkan klien untuk berbuat secara dewasa dan untuk bertanggung jawab dan malakukan self-control.
4.    Konselor menjadi penengah dari pertentangan atau kesenjangan komunikasi dan menginterpretasi pesan-pesan yang disampaikan klien atau anggota keluarga.
5.    Konselor menolak perbuatan penilaian dan pembantu menjadi congruence dalam respon-respon anggota keluarga.


__________________________________________________________________

Daftar Pustaka
Latipun. 2006. Psikologi Konseling Malang. UPT. Penerbitan Universitas Muhamadiyah Malang.
Latipun. 2001. Psikologi Konseling. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang
Pujosuwarno, Sayekti. 1994. Bimbingan Dan Konseling Keluarga. Menara Mas
Offset. Yogyakarta
Walgito, Bimo. 2004. Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Andi Offset. Yogyakarta.


Http://www.google.com/Konseling+Perkawinan/