PENGARUH PENERAPAN STRATEGI PELATIHAN ASERTIF DALAM KONSELING KELOMPOK TERHADAP ASERTIVITAS SISWA KELAS VII SMP AL-HUDA SURABAYA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perilaku asertif adalah perilaku interpersonal
berupa pernyataan perasaan yang bersifat jujur dan relatif langsung (Rimm &
Master dalam Rangkuti,2000). Perilaku asertif merupakan perilaku yang penting
untuk mewujudkan pribadi yang sehat.
Menurut Alberti dan Emmons (Widjaja dan Wulan,1998) perilaku asertif lebih
adaptif daripada perilaku pasif atau perilaku agresif. Asertif menimbulkan
harga diri yang tinggi dan hubungan interpersonal yang memuaskan karena
memungkinkan orang untuk mengemukakan apa yang diinginkan secara langsung dan
jelas sehingga menimbulkan rasa senang dalam diri pribadi dan orang lain.
Remaja perlu berperilaku asertif agar dapat mengurangi stress ataupun konflik
yang dialami sehingga tidak melarikan diri ke hal-hal negatif (Widjaja &
Wulan,1998).
Proses pembelajaran merupakan usaha strategis untuk
mewujudkan tujuan pendidikan, karena didalamnya terdapat program dan aktivitas
belajar untuk memfasilitasi siswa dalam mencapai perkembangan yang optimal yaitu
situasi dimana siswa telah dapat mengaktualisasikan potensi-potensi yang
terdapat didalam dirinya. Peran bimbingan dan konseling sangat dibutuhkan dalam
mengaktualisasikan potensi-potensi tersebut. Guru bimbingan dan konseling
adalah pendidik dan bertugas menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling
di sekolah. Hal ini sesuai dengan PP No.17 Tahun 2010, pasal 171 yang
menyatakan bahwa konselor (Guru BK) sebagai pendidik professional memberikan
pelayanan konseling kepada peserta didik di satuan pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Hal ini, guru bimbingan dan konseling
harus mampu mengembangkan dan melaksanakannya sesuai dengan fungsi kontrolnya
sebagai penanggung jawab layanan bimbingan dan konseling di sekolah yang
bermuara pada terwujudnya perkembangan diri dan kemandirian siswa secara
optimal dengan hakikat kemanusiaannya sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa,
sebagai makhluk individu, dan makhluk sosial dalam berhubungan dengan manusia
dan alam semesta. Sasaran dari pelayanan tersebut adalah siswa, dimana siswa
dikembangkan segenap potensi dan kemandiriannya.
Siswa merupakan peserta didik dan juga bagian dari
masyarakat dituntut dapat berkomunikasi dengan orang lain di lingkungan.
Lingkungan yang dimaksud adalah sekolah, karena hampir sebagian waktu siswa
banyak digunakan untuk berinteraksi di sekolah. Tugas siswa di sekolah yaitu
belajar, karena dengan belajar siswa akan memperoleh perubahan yang positif dan
dapat berkembang secara optimal perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotoriknya
sehingga siap melaksanakan perannya di masa yang akan datang. Siswa diharapkan
mampu berperilaku asertif dalam menyampaikan pendapat dan berkomunikasi dengan
lingkungan interaksi sosialnya sesuai dengan tugas perkembangan yang ada pada
dirinya. Menurut Lazarus (1971:138) yang mengemukakan bahwa perilaku asertif
adalah perilaku dimana individu mengekspresikan perasaan positif atau negatif
dan pikirannya secara tegas dengan tetap memperhatikan perasaan orang lain.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang
dilakukan oleh Agustina Mahasiswi IKIP Semarang bahwa di SMP Negeri 3 Ungaran,
khususnya kelas VIII sebagian besar siswanya pernah membolos walaupun hanya
sesekali ataupun sekedar iseng. Menurut guru BK di SMP tersebut hampir setiap
kelas ada anak yang membolos dengan berbagai macam alasan. Berdasarkan hasil
wawancara dan observasi yang dilakukan oleh
Agustina Mahasiswi IKIP Semarang dengan guru BK pada bulan Oktober 2012,
peneliti menemukan hampir 50% siswa khususnya kelas VIII di SMP 3 Ungaran
pernah membolos setiap bulannya, selain itu tidak sedikit siswa yang
meninggalkan jam pelajaran tertentu hanya sekedar ke kantin atau berkumpul di
toilet dengan teman-teman yang lain. Ada beberapa penelitian yang menunjukkan
bahwa remaja yang memiliki perilaku asertif rendah akan mudah terjerumus dalam
perilaku negatif. Ardiantini (2009), mengutip dari berbagai sumber seperti
Suara Merdeka (8 Maret 2009), bahwa terdapat 28 kasus kekerasan dalam pacaran,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga menangani 385 kasus kekerasan dalam
pacaran. Penelitian yang dilakukan Israr (Ardianti, 2009:6) juga mengungkapkan
bahwa terjadinya kekerasan dalam berpacaran karena korban cenderung tidak
berani menolak atau berkata tidak, menutup diri dan menghukum diri. Fenomena
pacaran yang ada di kalangan remaja kelas X Pemasaran 1 di SMK Negeri 1 Depok
masih menunjukkan perilaku asertif yang rendah dalam berpacaran. Hal ini
terbukti dari hasil wawancara pada tanggal 24 Januari 2012 oleh Nur salah satu
Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta yang dilakukan dengan beberapa siswa
SMK Negeri 1 Depok mengemukakan bahwa siswa Aya (nama samaran) merasa sungkan
untuk mengungkapkan penolakan ajakan pacar ketika Aya sedang sibuk mengerjakan
tugas dari sekolah, sehingga Aya lebih memilih untuk menuruti keinginan pacar
dan tugas sekolah sering terabaikan. Begitu juga dengan Ani (nama samaran)
mengungkapkan bahwa ia merasa kesulitan untuk mengungkapkan hak-haknya untuk
dapat bersosialisasi dengan lawan jenisnya karena larangan pacarnya. Ani merasa
terkekang dengan sikap pacarnya yang posesif. Ani ingin mengungkapkan
pikiran-pikirannya tersebut tanpa harus kehilangan pacar. Begitu juga dengan
siswi yang bernama Nina (nama samaran) ia mengungkapkan bahwa merasa sungkan
untuk mengungkapkan kepada pacar ketika ia menghendaki pacarnya untuk segera
pulang ke rumah karena waktu sudah menjelang maghrib.
Menurut Alberti dan Emmons (2002) perilaku asertif
adalah perilaku yang membuat seseorang dapat bertindak demi kebaikan dirinya,
mempertahankan haknya tanpa cemas, mengekspresikan perasaan secara nyaman, dan
menjalankan haknya tanpa melanggar orang lain. Perilaku siswa yang tidak
asertif akan berdampak pada dirinya sendiri dan orang lain, diantaranya
ketidakmampuan berprestasi, kegelisahan yang tidak realistis, kesulitan
bergaul, kesedihan, ketergantungan yang berlebihan kepada guru dan depresi.
Perilaku siswa yang tidak asertif merupakan salah satu bentuk kenakalan siswa,
jika tidak segera diselesaikan atau dicari solusinya akan dapat menimbulkan dampak
yang lebih parah. Oleh karena itu, penanganan terhadap siswa yang berperilaku
tidak asertif perlu mendapat perhatian yang lebih serius.
Menurut Rathus dan Nevid (1983) terdapat 6 faktor
yang mempengaruhi perkembangan perilaku asertif yaitu: (1) Jenis Kelamin,
Wanita pada umumnya lebih sulit bersikap asertif seperti mengungkapkan perasaan
dan pikiran dibandingkan laki-laki; (2) Self Esteem, keyakinan seseorang turut
mempengaruhi kemampuan untuk melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan; (3)
Kebudayaan, tuntutan lingkungan menentukan batas-batas perilaku, dimana
batas-batas perilaku itu sesuai dengan usia, jenis kelamin, dan status sosial
seseorang; (4) Tingkat Pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
semakin luas wawasan berfikir sehingga memiliki kemampuan untuk mengembangkan
diri dengan lebih terbuka; (5) Tipe Kepribadian, dalam situasi yang sama tidak
semua individu memberikan respon yang sama; (6) Situasi Lingkungan sekitarnya,
dalam berperilaku seseorang akan melihat kondisi dan situasi dalam arti luas.
Menurut Willis dan Daisley (1995) Asertif merupakan
suatu bentuk perilaku dan bukan merupakan sifat kepribadian seseorang yang
dibawa sejak lahir, sehingga dapat dipelajari meskipun pola kebiasaan seseorang
mempengaruhi proses pembelajaran tersebut yang menegaskan bahwa semua orang
dapat berperilaku agresif, pasif ataupun asertif, akan tetapi untuk berperilaku
asertif perlu dipelajari dan dilatih (Pentz dalam Rakos, 1991). Hal ini
diperkuat oleh Haris (Prabana, 1997) bahwa kualitas perilaku asertif seseorang
sangat dipengaruhi oleh pengalaman pada masa kanak-kanaknya. Pengalaman
tersebut berupa interaksi dengan orang tua melalui pola asuh yang ada dalam
keluarga yang menentukan pola respons seseorang dalam menghadapi berbagai
masalah setelah ia menjadi dewasa kelak.
Terkait dengan permasalahan tersebut, maka perlu
adanya langkah guna menyelesaikan masalah ini. Melalui konseling kelompok,
diharapkan siswa mampu menghilangkan perilaku yang tidak asertif. Seperti yang
telah dikemukakan oleh Wrenn (Walgito, 2004) dalam proses konseling terlihat
adanya sesuatu masalah yang dialami konseli. Konseli perlu mendapatkan
pemecahan dan cara pemecahannya harus sesuai dengan keadaan konseli. Jadi dalam
proses konseling ada tujuan langsung yang tertentu, yaitu pemecahan masalah
yang dihadapi konseli. Metode untuk meningkatkan perilaku asertif salah satunya
yaitu pelatihan asertif. Menurut Zastrow (Nursalim, 2005:129) pelatihan
asertivitas adalah pelatihan yang dirancang untuk membimbing manusia untuk menyatakan,
merasa, dan bertindak pada asumsi bahwa mereka memiliki hak untuk menjadi
dirinya sendiri tanpa harus mengesampingkan hak orang lain. Melalui pelatihan
asertivitas ini remaja juga dilatih untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan
serta mampu memberikan respon-respon penolakan secara tegas. Beberapa
penelitian telah mengembangkan dan menerapkan pelatihan asertivitas untuk
remaja. Hasil penelitian Dzakiyatus (2011:106) tentang peningkatan perilaku
asertif melalui pelatihan asertivitas, menunjukkan adanya perubahan yang
positif seperti menegur teman yang melakukan kesalahan, menolak permintaan
teman dengan sopan dan mengungkapkan ketidaksenangan pada teman. Pelatihan
Asertif ini dimaksudkan untuk mengajarkan dan membiasakan individu berperilaku
asertif dalam hubungan sehari-hari dengan orang lain di sekitarnya. Penelitian
yang lain juga mengatakan bahwa pelatihan asertif berpengaruh terhadap
peningkatan perilaku asertif siswa-siswi SMP (Anima, Indonesian Psychological
Journal 2005).
Penggunaan pelatihan asertif diharapkan siswa dapat
menjadi individu yang mandiri, tegas, menjadi terlatih dalam berkomunikasi
sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Tehnik pelatihan
asertif ini digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan konseli untuk
secara terus menerus menyesuaikan dirinya dengan tingkah yang diinginkan dan
dalam upaya menolak dengan ketegasan. Latihan-latihan yang diberikan lebih
bersifat pendisiplinan diri konseli.
B.
Ruang
Lingkup dan Pembatasan Masalah
Ruang
lingkup penelitian ini hanya membatasi pada:
Peneliti hanya meneliti penerapan Strategi
Pelatihan Asertif dalam konseling kelompok untuk mengatasi sikap siswa yang
kurang asertif serta bagaimana pengaruhnya terhadap siswa tersebut.
C.
Rumusan
Masalah
Memperhatikan latar belakang masalah di atas dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut. Adakah pengaruh yang signifikan
penerapan Strategi Pelatihan Asertif dalam Konseling Kelompok terhadap
Asertivitas Siswa?
D.
Variabel
dan Defenisi Operasional Variabel
Penelitian ini menggunakan 2 variabel yaitu
penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok sebagai variabel
bebas dan asertivitas siswa sebagai variabel terikat. Kedua variabel tersebut
penulis defenisikan sebagai berikut :
Penerapan Strategi Pelatihan Asertif dalam Konseling
Kelompok adalah suatu strategi yang digunakan untuk melatih individu agar dapat
mengekspresikan emosinya secara tegas dengan latihan pendisiplinan dalam
konseling kelompok.
Asertivitas siswa adalah sikap atau
perilaku siswa yang mampu mengekspresikan emosi secara bebas, tepat dan tegas
tanpa cemas terhadap orang lain tetapi tetap memperhatikan norma yang berlaku
di sekitar. Ciri-ciri perilaku asertif sebagai berikut: (1) Kemampuan
mengekspresikan perasaan yang sesungguhnya; (2) Kemampuan mengemukakan ide,
pendapat, dan gagasan; (3) Kemampuan mengajukan pertanyaan tanpa rasa cemas;
(4) Mempunyai pandangan yang positif tentang diri sendiri dan rasa percaya
diri; (5) Mempunyai pandangan yang positif tentang hidup; (6) Mempunyai
intensitas komunikasi yang tinggi.
E.
Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
signifikansi pengaruh strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok
terhadap asertivitas siswa.
F.
Manfaat
Penelitian
Penelitian ini perlu dilakukan yang hasilnya dapat
bermanfaat bagi peneliti, guru bimbingan dan konseling, dan pihak lembaga
pendidikan.
1.
Bagi
peneliti
Penelitian ini akan memberikan manfaat
kepada peneliti berupa diperolehnya
pengalaman plastis dalam melakukan penelitian pelaksanaan penerapan strategi
pelatihan asertif dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap asertivitas siswa
sehingga peneliti akan memperoleh hasil belajar berupa pengalaman melaksanakan
penelitian.
2.
Bagi
Guru BK
Disamping itu, hasil penelitian ini juga
diharapkan bermanfaat bagi guru bimbingan dan konseling yaitu, dapat digunakan
sebagai salah satu refrensi khususnya dalam upaya pengembangan program
bimbingan pribadi di sekolah yang bermanfaat bagi peserta didik.
3.
Bagi
Sekolah
Bila penelitian ini dilaksanakan dengan
baik, maka hasil yang diharapkan juga bermanfaat bagi sekolah, yaitu dapat
digunakan sebagai masukan dalam menentukan kebijakan khususnya kebijakan
perlunya usaha meningkatkan mutu pelayanan bimbingan dan konseling yang
memandirikan para siswa (konseli).
G.
Hipotesis
Pada penelitian ini diajukan hipotesis yaitu ada
pengaruh yang signifikan penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling
kelompok terhadap asertivitas siswa.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Perilaku Asertif
1.
Pengertian
Perilaku Asertif
Kata Asertif berasal dari bahasa inggris
to assert yang diartikan sebagai suatu ungkapan sikap positif (Fensteirheimdan
Baer, 1995). Perilaku asertif merupakan terjemahan dari assertive behavior
artinya perilaku yang dinyatakan dengan sopan dan manis untuk meminta seseorang
agar melakukan apa yang diinginkan sesuai norma, tenang, dewasa, dan masuk
akal. Rathus dan Nevid (1980), mengemukakan bahwa kata to assert berarti
meminta seseorang untuk melakukan sesuatu dengan cara yang akan menambah
penghargaan atau mengurangi kebencian.
Menurut Christoff dan Kelly (Khusna , 2002), assertiveness sedikitnya
mencakup tiga klasifikasi umum perilaku, yaitu tepat dalam cara menolak
permintaan orang lain, ekspresi yang tepat dalam pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan
serta ekspresi yang tepat dari keinginan-keinginan yang dimilikinya. Sedangkan
menurut Davis (1981), perilaku asertif adalah perilaku yang mengarah langsung
kepada tujuan, jujur, terbuka, penuh percaya diri, dan teguh pendiriannya.
Mulyani (1989), menyatakan bahwa perilaku asertif adalah perilaku pribadi
menyangkut emosi yang tepat, jujur, relatif terus terang, tanpa perasaan cemas
terhadap orang lain. Sedangkan Lazarus (Fensteirheim dan Baer, 1995) merumuskan
perilaku asertif sebagai perilaku penuh dengan ketegasan yang timbul karena
adanya kebebasan emosi dari setiap usaha untuk membela hak-haknya. Orang yang
asertif akan menuntut haknya tanpa memaksakan kehendaknya pada orang lain.
Menurut Rimm dan Master (Martant, 2002) perilaku asertif adalah suatu perilaku
interpersonal yang berupa pernyataan perasaan yang bersifat jujur dan relatif
langsung.
Karsono (Hidayat, 2000) menyatakan bahwa
perilaku asertif merupakan kemampuan seseorang untuk mengekspresikan perasaan,
memilih dengan tepat cara untuk bertindak, mengungkapkan hak-haknya pada saat
yang tepat, meningkatkan harga diri, membantu meningkatkan kepercayaan diri,
menyatakan ketidaksetujuan pada saat yang tepat serta mampu merencanakan untuk
memperbaiki perilakunya sendiri dan meminta orang lain untuk mengubah perilaku
tanpa menyerang orang lain. Menurut Youngs (1986), perilaku asertif adalah
perilaku yang mencerminkan bahwa individu memiliki apa yang diinginkan,
termasuk perasaan tidak meletakkan tanggung jawab ke atas orang lain. Perilaku
asertif adalah kemampuan menyatakan sesuatu dengan cara yang dapat diterima
orang lain. Menurut akan pikiran secara jujur dan tepat tanpa menginjak hak
pribadi orang lain. Perilaku asertif menekankan pada aspek kejujuran, jujur
dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan, jujur terhadap apa yang dirasakan
dan dipikirkan, jujur terhadap diri sendiri maupun orang lain. Menurut Bernete
(Fauziah, 2003) ada 3 hal yang berkaitan dengan asertif, yaitu:
a)
Menunjukkan validasi empati, yaitu
mencoba untuk menyatakan sesuatu yang menunjukkan kemengertian terhadap
perasaan orang lain.
b)
Menyatakan masalah, yaitu sesuatu yang
menggambarkan kesulitan atau ketidakpuasan, memberitahukan mengapa seseorang
ingin adanya perubahan.
c)
Menyatakan apa yang diinginkan, yaitu
meminta secara khusus kepada orang lain untuk merubah perilakunya.
Menurut Shaffer dan Galinsky (Khoir,
2007) asertivitas adalah kemampuan seseorang untuk mengekspresikan apa yang ada
pada dirinya dengan cukup terampil dan spontan. Schroeder (Khoir, 2007)
menyatakan bahwa asertivitas adalah ketrampilan untuk memohon, mempertahankan
diri atau memperoleh sesuatu yang lebih baik dalam hubungan interpersonal dalam
berbagai situasi dan mengekspresikan perasaan yang diinginkan atau
menghilangkan sesuatu yang tidak baik melalui hukuman.
Perilaku asertif merupakan bentuk
pengembangan hubungan interpersonal yang bersifat memberi (menyatakan
kebutuhan, perasaan, dan pikiran secara langsung, jujur, dan dalam kesempatan
yang tepat) dan sekaligus juga menerima, mendengarkan secara aktif apa yang
menjadi kebutuhan, pikiran, dan perasaan orang lain. Asertif adalah kemampuan
untuk secara jujur menyampaikan pendapat, perasaan, sikap dan hak dengan tidak
mengganggu kepentingan atau hak-hak orang lain (Widyarini, 2004). Menurut
Butler (Khoir, 2007) perilaku asertif tidak hanya sebatas ekspresi pikiran dan
perasaan yang positif, namun juga berkaitan dengan ekspresi perasaan negatif.
Hal ini berarti bahwa perilaku asertif tidak hanya sebatas kemampuan
mengekspresikan pikiran dan perasaan seperti yang positif tetapi juga bagaimana
mengekspresikan pikiran dan perasaan negatif seperti menolak, menyatakan tidak
dan menunjukkan reaksi tidak mengerti atau tidak suka. French (Khoir, 2007)
menyatakan bahwa perilaku asertif berbeda dengan agresif dan sikap pasif. Sikap
agresif cenderung bergerak di luar batas hak, sehingga melanggar hak-hak orang
lain, mengabaikan dan menolak kepercayaan, opini, perasaan, keinginan, emosi,
sikap, data, informasi atau keterlibatan orang lain. Sikap pasif adalah
mengabaikan hak diri sendiri, gagal untuk mempertahankan diri sendiri, dan
membiarkan orang lain mengabaikan hak diri sendiri. Oleh karena itu,
asertivitas bukanlah merupakan cerminan pribadi, tetapi hanya sebuah
ketrampilan dalam berkomunikasi. Rathus dan Nevid (Khoir, 2007) menyatakan
bahwa perilaku asertif bukanlah bawaan atau muncul secara kebetulan pada tahap
perkembangan individu, namun merupakan pola-pola yang dipelajari sebagai reaksi
terhadap situasi sosial dalam kehidupannya. Tujuan perilaku asertif adalah
membuat proses komunikasi berjalan dengan efektif, membangun hubungan yang
setara dan saling menghormati. Perilaku asertif juga merupakan bentuk pemecahan
masalah melalui negoisasi.
Berdasarkan uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa perilaku asertif adalah perilaku hubungan antar pribadi yang
menyangkut emosi yang tepat, jujur, relative terus terang, dan tanpa perasaan
cemas terhadap orang lain, serta mengandung sikap penuh ketegasan yang sebagian
besar dipelajari individu di tempat individu tersebut mengembangkan diri.
2.
Aspek-aspek
Perilaku Asertif
Townsend
dalam Khusna, 2002 menyatakan bahwa orang yang berperilaku asertif dapat
disebut sebagai orang yang mempunyai kepercayaan diri, karena orang yang
percaya diri dapat bersikap positif pada dirinya sendiri maupun pada orang
lain. Sikap ini kemudian akan menjadikan seseorang memiliki aspek-aspek
perilaku asertif sebagai berikut:
a. Tegas
Tegas berarti konsisten
terhadap apa yang menjadi perasaan, kehendak, dan keyakinannya.
b. Jujur
dan Terbuka
Jujur dan terbuka
berarti mau dan mampu mengkomunikasikan perasaan, kehendak, kekurangan atau
kesalahan apa adanya serta tidak malu memperbaikinya.
c. Nyaman
dalam mengemukakan isi pikiran dan perasaannya. Hal ini berarti bahwa kejujuran
dan keterbukaan dilakukan secara spontan, percaya diri, tidak cemas, dan tetap
merasa nyaman.
d. Kritis
Kritis berarti menganalisis dan
menerima sesuatu dengan dilandasi pemikiran dan pemahaman, sedangkan
menghormati orang lain berarti mampu menjaga hak-hak orang lain tanpa mengorbankan
kepentingan pribadinya.
Townsend (Khusna, 2002) menyatakan bahwa perilaku
asertif terdiri dari dua aspek, yaitu:
a. Perilaku
asertif agresif
Perilaku asertif
agresif merupakan perilaku ekspresif tetapi juga bersifat defensif (bertahan)
dan merusak diri sendiri dan orang lain yang kemudian diakhiri dengan munculnya
perasaan frustasi dan kesepian.
b. Perilaku
asertif pasif
Perilaku asertif pasif merupakan
sikap menghindari konflik dengan orang lain dengan cara menempatkan keinginan
perasaan dan kebutuhan dirinya dibawah keinginan, perasaan, kebutuhan orang
lain karena adanya perasaan takut dan kurang percaya diri.
Menurut Bloom, dkk (1985) perilaku
asertif dapat pula dilihat dari aspek perilaku nonverbal yang meneliti ekspresi
mimik, gerakan tubuh, postur, nada dan tekanan suara serta saat tertawa yang
tepat. Kontak mata langsung menunjukkan ekspresi sungguh-sungguh. Postur tubuh
yang tegap dan menghadap lawan bicara akan mempengaruhi pesan yang disampaikan.
Gerakan isyarat yang tepat juga dapat digunakan, demikian juga dengan ekspresi
wajah, tekanan, dan volume suara akan menimbulkan kesan yang meyakinkan.
Lazarus (1996)
menyatakan aspek perilaku asertif, yaitu:
a. Kemampuan
untuk memulai, melanjutkan, mengakhiri suatu pembicaraan dengan sukses.
b. Kemampuan
untuk berkata tidak bila memang diperlukan.
c. Kemampuan
untuk mengekspresikan perasaan positif dan negatif.
d. Kemampuan
untuk menyuruh atau bertanya pada orang lain bila memang mempunyai tujuan.
Orang yang mempunyai perilaku asertif
adalah orang mempunyai harga diri dan pendirian yang teguh (Davis, 1981) dan
mempunyai konsep diri yang positif yang dicirikan dengan harga diri yang
tinggi. Menurut Bower dan Bower (1984) menyatakan bahwa seseorang yang
berperilaku asertif memiliki aspek-aspek sebagai berikut:
a. Menggunakan
perkataan yang mengekspresikan perasaan (feeling talk), seseorang dapat
mengekspresikan kesenangan dan minat pribadi secara spontan.
b. Berbicara
tentang diri sendiri, seseorang yang asertif membiarkan orang lain mengetahui
hal berguna yang telah dilakukannya tanpa melakukan monopoli dalam percakapan,
namun dapat menunjukkan kelebihan dirinya pada saat yang tepat.
c. Bersikap
ramah dan bersahabat pada orang lain serta dapat menyapa dengan sikap ringan
tidak hanya berdiam diri melihat dengan sikap malu-malu.
d. Menerima
pujian dengan cara ramah.
e. Menggunakan
ekspresi wajah dan perubahan nada sesuai dengan kata-kata yang disampaikan
serta berani menatap lawan bicara.
f.
Tidak berpura-pura tetapi dapat
mengungkapkan ketidak setujuan secara halus.
g. Berani
meminta penjelasan bila memberikan penjelasan yang membingungkan.
h. Berani
menanyakan alasan ketika orang lain meminta untuk melakukan hal-hal yang tidak
masuk akal.
i.
Berani menyatakan ketidak setujuan bila
tidak setuju dengan pendapat orang lain dan merasa yakin dengan dasar
ketidaksetujuannya itu.
j.
Berani menuntut apa yang menjadi haknya
serta meminta untuk diperlakukan adil tanpa disertai kemarahan bila merasa
diperlakukan tidak adil.
k. Berani
memperjuangkan dengan gigih keluhan atau pengaduan yang masuk akal sampai
memperoleh kepuasan.
l.
Mampu menghindar untuk tidak memberikan
alasan pada setiap pendapat atau pertanyaan yang bertujuan untuk mendebat bila
mungkin tidak berkenan di hati.
Ardiah (2003) menyimpulkan bahwa perilaku asertif
terdiri dari aspek-aspek sebagai berikut:
a. Kemampuan
mengekspresikan perasaan yang sesungguhnya.
b. Kemampuan
mengemukakan ide, pendapat dan gagasan.
c. Kemampuan
mengajukan pertanyaan tanpa rasa cemas.
d. Mempunyai
pandangan positif tentang diri sendiri dan rasa percaya diri.
e. Memiliki
pandangan aktif tentang hidup.
f.
Memiliki intensitas komunikasi yang
tinggi.
g. Mampu
menolak permintaan orang lain yang tidak jelas
3.
Ciri-ciri
Orang yang Berperilaku Asertif
Orang
yang asertif menurut Feinsteiheim dan Baer (1995) memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Merasa
bebas untuk mengemukakan diri sendiri baik memulai kata-kata maupun tindakan.
b. Dapat
berkomunikasi dengan orang lain secara terbuka, langsung dan jujur.
c. Mempunyai
pandangan aktif tentang hidup yang berarti.
d. Bertindak
dengan cara yang dihormati, artinya bersedia menerima keterbatasan, kegagalan,
tidak membuat diri sendiri kehilangan harga diri.
Fensterheim dan Baer (1995) menyatakan
bahwa orang yang asertif adalah orang yang penuh dengan rangsangan semangat,
menyadari siapa dirinya, dan apa yang diinginkan. Perilaku asertif seseorang
secara tidak langsung akan membuat orang lain merasa di tuntut untuk menghargai
keberadaan dirinya. Orang yang berperilaku asertif tidak akan meremehkan,
mengabaikan hak-hak dan tidak membiarkan orang lain melanggar hak-haknya. Orang
yang berperilaku asertif akan mampu mengemukakan apa yang dipikirkannya tanpa
rasa takut, sebaliknya orang yang tidak atau kurang asertif adalah orang yang
harga dirinya rendah, kurang percaya diri, tidak dapat secara bebas dalam
menyatakan apa yang dirasakan dan diinginkannya. Kanfer dan Goldstein (1986)
mengemukakan bahwa ciri-ciri orang yang berperilaku asertif adalah orang yang
menguasai diri, dapat merespon hal-hal yang sangat disukai secara wajar dan
dapat menyatakan kasih sayang dan cintanya. Menurut Napolly dan dkk (khusna,
2002) orang yang memiliki sikap dan perilaku asertif mampu mengeskpresikan
dirinya secara jelas dan positif. Individu yang asertif dapat mengekspresikan
dirinya dengan jelas dan dapat berkomunikasi dengan orang lain secara efektif.
Perilaku asertif akan membuat seseorang mengembangkan respons yang positif dan
menunjukkan sikap yang sesuai dengan harapan.
Norton dan Warick menyatakan bahwa
ada lima ciri perilaku individu terhadap lingkungan yang termasuk perilaku
asertif, yaitu:
a. Terbuka,
dalam arti dapat mengemukakan perasaannya secara jujur kepada semua orang.
b. Mempunyai
intensitas komunikasi yang tinggi dan dominan,
c. Mampu
menyesuaikan diri dengan segala macam situasi komunikasi sehingga tidak
mempunyai kecemasan dalam berkomunikasi.
d. Mampu
berdebat dan berargumentasi
e. Tidak
dapat diintimidasi dan tidak mudah dipengaruhi.
4.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Perilaku Asertif
Galassi
(Rahmawati, 1994) berpendapat bahwa asertivitas merupakan perilaku yang muncul
dalam situasi yang spesifik. Individu yang berperilaku asertif pada lingkungan
tertentu belum tentu berperilaku asertif pada lingkungan yang lain. Hal ini
karena perkembangan perilaku asertif ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
dialami individu dalam lingkungan, pengalaman hidup, serta perkembangan pribadi
individu.
Menurut
Rathus dan Nevid (1980) beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku asertif
adalah sebagai berikut:
a. Pola
Asuh
Pengalaman
masa anak-anak yang kebanyakan berupa interaksi dengan orang tua maupun dengan
anggota keluarga lainnya sangat menentukan pola respon seseorang dalam
menghadapi berbagai masalah setelah dewasa kelak yang akan mempengaruhi kualitas
perilaku asertif (Harris dalam Prabana, 1997).
b. Usia
Menurut
Feinsteirheim dan Baer (1995) asertivitas berkembang sepanjang hidup seseorang
sejalan dengan bertambahnya usia seseorang maka bertambah pula pengalaman yang
diperoleh sehingga dari pengalaman yang diperoleh itu, individu dapat belajar
hal-hal yang positif bagi dirinya sehingga hal ini dapat membantunya dalam
berperilaku.
c. Harga
Diri
Menurut
Bloom, dkk (1985) individu yang memiliki harga diri yang tinggi akan mampu
berperilaku asertif dan sebaliknya semakin mampu individu dalam berperilaku
asertif semakin meningkatkan pula harga dirinya.
d. Sosial
Ekonomi dan Intelegensi
Penelitian Schart dan Goldman (Prabana,
1997) membuktikan adanya pengaruh tingkat sosial ekonomi dan intelegensi
terhadap asertivitas. Individu yang memiliki tingkat sosial ekonomi dan
intelegensi tinggi lebih asertif daripada individu yang memiliki tingkat sosial
ekonomi dan intelegensi rendah.
e. Tingkat
Pendidikan
Firth
dan Synder (Khusna, 2002) menyatakan bahwa pengetahuan dan wawasan yang
dimiliki seseorang akan mempengaruhi rasa percaya diri dan hubungan
interpersonal. Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih
asertif daripada individu yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
f.
Kepribadian
Orang yang ekstrovert terlihat lebih asertif
daripada orang yang introvert, karena orang-orang yang ekstrovert lebih bebas
dalam mengemukakan pendapatnya dan mudah melakukan hubungan dengan orang lain
(Stein dan Book, 2002)
Berdasarkan
penjelasan yang dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi asertivitas adalah pola asuh, usia, harga diri,
sosial ekonomi, intelegensi, tingkat pendidikan dan kepribadian.
B.
Konseling
Kelompok
1.
Pengertian
Konseling Kelompok
Gazda
(1984), Shertzer&Stone (1980) dalam Mungin Edi Wibowo, 2005 mengemukakan
pengertian konseling kelompok adalah suatu proses antar pribadi yang terpusat
pada pemikiran dan perilaku yang didasari. Proses itu mengandung ciri-ciri
terapeutik seperti pengungkapan pikiran dan perasaan secara leluasa, orientasi
pada kenyataan, pembukaan diri mengenai perasaan-perasaan mendalam yang
dialami, saling percaya, saling perhatian, saling pengertian, dan saling
mendukung.
2.
Tujuan
Konseling Kelompok
Menurut
Prayitno (2004), tujuan umum konseling kelompok adalah mengembangkan
kepribadian siswa untuk mengembangkan kemampuan sosial, komunikasi, kepercayaan
diri, kepribadian, dan mampu memecahkan masalah yang berlandaskan ilmu dan
agama. Tujuan khusus konseling kelompok adalah :
a. Membahas
topik mengandung masalah aktual, hangat dan menarik perhatian anggota kelompok,
b. Terkembangnya
perasaan, pikiran, persepsi, wawasan, dan sikap terarah kepada tingkah laku
dalam bersosialisasi atau berkomunikasi,
c. Terpecahkannya
masalah individu yang bersangkutan dan diperolehnya imbasan pemecahan masalah
bagi individu peserta konseling kelompok yang lain,
d. Individu
dapat mengatasi masalahnya dengan cepat dan tidak menimbulkan emosi.
Menurut Mungin Eddy Wibowo (2005:20)
tujuan yang ingin dicapai dalam konseling kelompok, yaitu pengembangan pribadi,
pembahasan dan pemecahan masalah pribadi yang dialami oleh masing-masing
anggota kelompok agar terhindar dari masalah sehingga masalah dapat
terselesaikan dengan cepat melalui bantuan anggota kelompok yang lain.
Menurut
Dewa Ketut Sukardi (2002:49) tujuan konseling kelompok meliputi :
a. Melatih
anggota kelompok agar berani berbicara dengan oran banyak,
b. Melatih
anggota kelompok agar dapat bertenggang rasa terhadap teman sebayanya,
c. Dapat
mengembangkan bakat dan minat masing-masing anggota kelompok,
d. Mengentaskan
permasalahan-permasalahan kelompok.
3.
Asas-Asas
Konseling Kelompok
Sejumlah
prinsip ataupun asas-asas yang harus diperhatikan oleh para anggota konseling
kelompok, yaitu :
a. Asas
kerahasiaan
Asas
kerahasiaan ini memegang peranan penting dalam konseling kelompok karena
masalah yang dibahas dalam konseling kelompok bersifat pribadi, maka setiap
anggota kelompok diharapkan bersedia menjaga semua pembicaraan atau tindakan yang ada dalam kegiatan konseling
kelompok dan tidak layak diketahui oleh orang lain selain orang-orang yang
mengikuti kegiatan konseling kelompok.
b. Asas
kesukarelaan
Asas
kesukarelaan meliputi kehadiran, pendapat, usulan dan tanggapan dari anggota
kelompok harus bersifat sukarela tanpa paksaan.
c. Asas
keterbukaan
Kekhawatiran
dan keraguan akan timbul jika tidak ada keterbukaan antar anggota kelompok.
d. Asas
kegiatan
Hasil
layanan konseling kelompok tidak akan berarti bila klien yang dibimbing tidak
melakukan kegiatan dalam mencapai tujuan bimbingan. Pemimpin kelompok hendaknya
menimbulkan suasana agar klien yang dibimbing mampu menyelenggarakan kegiatan
yang dimaksud dalam penyelesaian masalah.
e. Asas
kenormatifan
Setiap
anggota harus dapat menghargai pendapat orang lain, jika ada yang ingin
mengeluarkan pendapat maka anggota yang lain harus mempersilahkannya terlebih
dahulu.
f.
Asas kekinian
Masalah
yang dibahas dalam kegiatan konseling kelompok harus bersifat sekarang.
Artinya, masalah yang dibahas adalah masalah yang saat ini sedang dialami yang
mendesak, mengganggu keefektifan kehidupan sehari-hari, dan membutuhkan
penyelesaian segera, bukan masalah dua tahun yang lalu atau masalah waktu
kecil.
4.
Langkah-Langkah
Konseling Kelompok
Konseling kelompok merupakan salah satu
layanan bimbingan dan konseling. Menurut Hartono (2010:14) Langkah-langkah
konseling kelompok yang harus dilakukan adalah:
a. Membentuk
Kelompok: (1) Konselor mengucapkan salam kepada para konseli; (2) Konselor
membentuk kelompok dan memberikan nama kelompok.
b. Membentuk
Hubungan Baik; (1) Konselor memperkenalkan diri kepada anggota kelompok; (2)
Membuat yel-yel, anggota kelompok diajak mengucapkan yel-yel agar situasi lebih
kondusif dan bersemangat; (3) Menjelaskan ungkapan professional yaitu konselor
menjelaskan kepada konseli tentang apa konseling, tujuan konseling, asas-asas
konseling, dan bagaimana hasil konseling. Tujuan dari membentuk hubungan baik
ini adalah untuk menggali informasi dari konseli agar konseli dapat membuka
diri.
c. Membentuk
dan mengembangkan norma kelompok: (1) Konselor menyiapkan terlebih dahulu draf
norma kelompok; (2) Mengajak konseli untuk mendiskusikan tentang norma kelompok
sampai konseli memahami dan menerimanya. Tujuan membentuk dan mengembangkan
norma kelompok ini adalah agar norma-norma dalam konseling kelompok dipatuhi
oleh para konseli.
d. Menjelaskan
Tujuan Konseling Kelompok yaitu konselor menjelaskan tujuan pelaksanaan
konseling kelompok kepada para konseli agar konseli turut aktif dalam memahami
tujuan konseling kelompok.
e. Identifikasi
Kasus Masalah Konseli: (1) Konselor memberikan kesempatan bertanya kepada
setiap konseli tentang permasalahan yang dialami selama ini; (2) Konselor
mencatat dan memahami setiap masalah konseli; (3) Konselor meranking masalah
konseli sehingga disepakati masalah mana yang perlu dibahas.
f.
Memilih dan Menerapkan Strategi: (1)
Konselor mengajak konseli untuk memilih strategi konseling kelompok; (2)
Konselor menerapkan strategi yang dipilih dengan menerapkan langkah-langkah
sebagai berikut:
1) Rasionalisasi,
yaitu menjelaskan mengapa menggunakan strategi itu.
2) Memberikan
contoh: konselor memberikan contoh pada konseli tentang menerapkan strategi
yang dipilih.
3) Melatih
konseli untuk menerapkan strategi yang dipilih.
4) Konselor
memberikan PR kepada konseli
g. Assessment
dan Follow Up
Konselor melakukan diskusi dengan para konseli untuk
menanyakan apakah konseli sudah menerapkan strategi yang dipilih dan bagaimana
hasilnya dalam mengubah perilaku yang diinginkan. Langkah konseling kelompok
menurut Zainal Aqib (2012:132-134) sebagai berikut: (1) Pembentukan, yaitu: a)
Guru BK menerima seluruh anggota dengan bersalaman, berdoa bersama mengucapkan
salam; b) Menjelaskan pengertian, tujuan, tata cara kegiatan konseling
kelompok, asas-asas, menegaskan kesanggupan menaati asas kerahasiaan konseling
kelompok; (2) Peralihan: a) menanyakan kesiapan anggota kelompok; b) memberikan
contoh masalah pribadi yang akan dibahas dalam kegiatan konseling kelompok. (3)
Kegiatan: a) setiap peserta mengemukakan masalah pribadi yang dihadapi; b)
memilih bahan yang akan dibahas; c) membahas masalah yang sudah dipilih dengan
tanya jawab antara yang mempunyai masalah dengan anggota kelompok. (4)
Pengakhiran: a) menjelaskan konseling kelompok akan diakhiri; b) menanyakan
manfaat konseling kelompok; c) menjelaskan kegiatan lanjutan; d) menanyakan
kesan dan pesan kepada anggota kelompok; e) guru BK mengucapkan terima kasih
kepada seluruh anggota kelompok atas terlaksananya kegiatan konseling kelompok
ini; f) berdoa; g) diakhiri dengan salam penutup dan berjabat tangan, kemudian
anggota kelompok meninggalkan ruang konseling kelompok.
5.
Strategi
Pelatihan Asertif
Pelatihan asertif merupakan latihan keterampilan
sosial yang diberikan pada individu yang diganggu kecemasan, tidak mampu
mempertahankan hak-haknya, terlalu lemah, membiarkan orang lain merongrong
dirinya, tidak mampu mengekspresikan amarahnya dengan benar dan cepat
tersinggung. Prosedur dasar dalam pelatihan asertif (Assertive Trainning):
1. Mengajarkan
perbedaan antara asertif, agresif, non-agresif dan sopan.
2. Membantu
individu mengidentifikasi dan menerima hak-hak pribadi dirinya dan orang lain.
3. Mengurangi
hambatan kognitif dan afektif yang menghambat aktualisasi sikap asertif.
4. Mengembangkan
ketrampilan perilaku asertif secara langsung melalui praktik-praktik di dalam
pelatihan.
C.
Pengaruh
Penerapan Strategi Pelatihan Asertif dalam Konseling Kelompok terhadap
Asertivitas Siswa
Pelatihan Asertif berpengaruh terhadap perilaku
asertif siswa. Siswa diajarkan untuk bersikap asertif dalam strategi ini. Hal
ini bertujuan agar siswa dapat tumbuh menjadi individu yang tegas, mandiri, dan
bertanggung jawab sehingga dapat menjalani tahap-tahap perkembangannya dengan
baik, menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupannya secara tegas dan
mandiri. Pelatihan asertif berpengaruh terhadap peningkatan perilaku asertif
siswa SMP (Anima, Indonesian Psycological Journal 2005).
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada
bab ini akan disajikan mengenai rancangan penelitian, populasi dan sampel,
metode pengumpulan data serta metode analisis data.
A.
Rancangan
Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian praeksperimental
dengan rancangan One Group
Pretest-Posttest Design, yang bertujuan untuk mengetahui taraf signifikansi
pengaruh pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa.
Rancangan penelitian ini diuraikan pada gambar 3.1 berikut.
Prestest Treatment Posttest
Rancangan Penelitian One Group
Pretest-Posttest Design
Keterangan
O1
adalah pretest (Pengukuran asertivitas siswa sebelum diberikan treatment)
O2
adalah posttest (Pengukuran asertivitas siswa setelah diberikan treatment)
X adalah treatment
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) mengumpulkan data asertivitas siswa
dengan menggunakan skala pengukuran perilaku asertif; (2) memberikan treatment
berupa menyelenggarakan konseling kelompok dengan menggunakan strategi
pelatihan asertif dengan langkah-langkah sebagai berikut: a) membentuk
kelompok, pada tahap ini konselor mengucapkan salam kepada anggota kelompok,
konselor juga mengajak anggota kelompok untuk memberi nama kelompok. b)
menanamkan hubungan baik yaitu konselor memperkenalkan diri terlebih dahulu
setelah itu anggota kelompok juga satu persatu memperkenalkan diri mereka
masing-masing secara bergantian dan mengajak seluruh anggota kelompok untuk
bernyanyi bersama-sama. c) membentuk norma kelompok dan menjelaskan asas dan
tujuan konseling kelompok, yaitu konselor menjelaskan pentingnya tata tertib
dalam pelaksanaan konseling kelompok lalu membagikan draf untuk memusyawarahkan
tata tertib pelaksanaan konseling kelompok dan anggota kelompok saling memberikan
tanggapan. d) identifikasi kasus, konselor mulai menggali masalah konseli
dengan cara menanyakan satu persatu masalah yang dialami masing-masing anggota
konseling kelompok. Setelah itu anggota kelompok memusyawarahkan dan memilih
masalah siapa yang akan dibahas terlebih dahulu. Setelah memilih satu masalah
yang akan dibahas terlebih dahulu konselor
menggali masalah konseli dengan meminta konseli untuk menceritakan
kembali secara detail masalah yang dialaminya dan anggota kelompok yang lain
menyimak dan saling memberikan tanggapan yang berhubungan dengan masalah
konseli. e) menerapkan strategi pelatihan asertif, yaitu setelah masalah
konseli selesai digali konselor memilih strategi yang sesuai dengan
permasalahan yang dialami konseli. Lalu konselor menjelaskan secara rinci
tentang strategi tersebut, konselor juga menjelaskan alasannya mengapa
menggunakan strategi tersebut, tujuannya menggunakan strategi tersebut serta
mengajarkan kepada konseli bagaimana menggunakan dan langkah-langkah dalam strategi
tersebut dengan cara memberi contoh penerapan strategi tersebut, melatih
konseli beserta anggota kelompok untuk dapat menerapkan strategi tersebut dalam
kehidupan sehari-hari, dan memberi pekerjaan rumah agar mereka dapat
mengaplikasikan strategi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahap ini
konselor membagi anggota kelompok ini menjadi 2, 4 orang sebagai kelompok
pengamat dan 4 orang sebagai pelaku. Pada saat kelompok pelaku mulai berlatih
strategi pelatihan asertif kelompok pengamat hanya mengamati saja serta
mengevaluasi apa yang masih kurang dalam latihan asertif yang dilakukan
kelompok pelaku dan merefleksi diri mereka sendiri dari apa yang dilakukan oleh
kelompok pelaku dengan cara mengambil hal-hal positif apa saja yang seharusnya
diambil dan begitu pula sebaliknya. Refleksi diri tersebut digunakan sebagai
bahan PR mereka di rumah untuk instropeksi diri mereka masing-masing.setelah
itu mereka mereview kembali apa yang telah diajarkan konselor kepada anggota
kelompok. f) Assesment dan Follow Up
yaitu, konselor mengukur perilaku asertif konseli dengan memberikan skala
pengukuran perilaku asertif kepada konseli setelah diberikan perlakuan.
Penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok tersebut apakah
ada pengaruhnya terhadap asertivitas siswa atau tidak. Setelah itu, konselor
memfollow up anggota kelompok terkait penerapan strategi pelatihan asertif
dalam konseling kelompok dengan menanyakan kepada anggota kelompok bagaimana
perasaannya saat ini setelah melakukan latihan asertif dan pengaruhnya bagi
masing-masing anggota kelompok. Lalu konselor memberikan skala pengukuran
perilaku asertif sebagai hasil post-test yaitu hasil penelitian setelah
diberikan perlakuan. Konseling kelompok ini dilakukan sebanyak 6 kali tatap
muka (satu kali tatap muka 45 menit).
(3) melakukan uji Wilcoxon Signed Rank Test dengan
bantuan SPSS for Windows versi 16.0 untuk menghitung apakah ada pengaruh
penerapan strategi pelatihan asertif tersebut dalam konseling kelompok terhadap
asertivitas siswa kelas VII SMP Al-Huda Surabaya; (4) menarik suatu simpulan
dari uji Wilcoxon tersebut.
B.
Populasi
dan Sampel
1.
Populasi
Penelitian
Penelitian ini
mengambil populasi seluruh siswa kelas VII SMP AL-HUDA Surabaya dalam semester
ganjil tahun 2014/2015 sejumlah 80 orang siswa yang terdiri dari 2 kelas, yaitu
kelas VII A (40 siswa) dan VII B (40 siswa). Rincian populasi penelitian ini
diuraikan pada tabel 3.2 sebagai berikut.
Tabel 3.1
Populasi siswa kelas VII A dan VII
B
SMP AL-HUDA SURABAYA
No.
|
Kelas
|
Jenis
Kelamin
|
Jumlah
|
|
Laki-Laki
|
Perempuan
|
|||
1.
|
VII A
|
13
|
27
|
40
|
2.
|
VII B
|
18
|
22
|
40
|
Jumlah
|
31
|
49
|
80
|
2.
Sampel
Penelitian
Sampel
Penelitian ini adalah 8 siswa kelas VII SMP AL-HUDA Surabaya yang diambil
secara purposive sampling dari anggota populasi dengan langkah-langkah sebagai
berikut: (1) membuat skala pengukuran perilaku asertif; (2) memberikan skala
pengukuran perilaku asertif kepada siswa kelas VII SMP AL-HUDA Surabaya; (3)
menghitung skor skala pengukuran perilaku asertif masing-masing siswa; (4)
mengumpulkan siswa yang memiliki skor terendah untuk diberi treatment konseling
kelompok. Rincian semua anggota sampel penelitian (subyek penelitian) diuraikan
pada tabel 3.3 sebagai berikut.
Tabel 3.2
Sampel Penelitian kelas VII
SMP AL-HUDA Surabaya
No.
|
Kelas
|
Jenis Kelamin
|
Jumlah Siswa
|
Jumlah Sampel
|
|
Laki-Laki
|
Perempuan
|
||||
1.
|
VII A
|
13
|
27
|
40
|
4
|
2.
|
VII B
|
18
|
22
|
40
|
4
|
Jumlah
|
|
|
80
|
8
|
C.
Metode
Pengumpulan Data
Pengumpulan data-data penelitian ini dilakukan
dengan cara mengerjakan lembar skala pengukuran oleh para siswa yang ditunjuk
sebagai subjek penelitian. Prosedur yang dilakukan dalam memberikan lembar
skala pengukuran kepada siswa sebagai subjek penelitian ini adalah sebagai
berikut: (1) menciptakan hubungan baik (rapport) kepada para siswa yang
ditunjuk sebagai subjek penelitian, dengan cara melakukan perkenalan,
menjelaskan tujuan pengumpulan data, dan menegaskan bahwa hasil pengukuran ini
tidak ada kaitannya dengan nilai mata pelajaran siswa; (2) menjelaskan petunjuk
cara mengerjakan lembar skala pengukuran; (3) membagikan lembar skala
pengukuran kepada para siswa yang ditunjuk sebagai subjek penelitian untuk
dikerjakan sebaik-baiknya; (4) mengumpulkan lembar skala pengukuran setiap
subjek yang telah dikerjakan, kemudian diberi skor sesuai ketentuan standar.
Lebih rinci akan dijelaskan tentang skala pengukuran, validitas serta
reliabilitas pengembangan skala pengukuran yaitu:
1.
Skala
Pengukuran
Untuk mengumpulkan
data-data penelitian, digunakan skala pengukuran yang terdiri dari satu macam,
yaitu sebagai berikut.
a) Skala
pengukuran perilaku asertif siswa digunakan untuk mengukur variabel asertivitas
siswa.
Skala pengukuran tersebut dirancang
menggunakan adaptasi skala likert (likert
scale) dengan 4 pilihan jawaban, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S),
tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS), yang dikembangkan oleh
peneliti melalui prosedur validitas isi (content
validity) dan dilakukan uji coba (try
out). Penskoran skala penelitian menggunakan penskalaan subjek. Pernyataan
positif diberi skor 4 untuk sangat setuju (SS), 3 untuk setuju (S), 2 untuk
tidak setuju (TS), dan 1 untuk sangat tidak setuju (STS). Sedangkan pernyataan
negatif diberi skor 1 untuk sangat setuju (SS), 2 untuk setuju (S), 3 untuk
tidak setuju (TS) dan 4 untuk sangat tidak setuju (STS).
Prosedur pengembangan skala ini adalah
sebagai berikut. Pertama,
mendefinisikan variabel penelitian secara operasional, yaitu variabel
asertivitas siswa. Kedua,
mengembangkan blue-print skala
pengukuran, yaitu blue-print
pengembangan skala pengukuran perilaku asertif siswa. Ketiga, menyusun butir pengembangan skala pengukuran perilaku
asertif siswa. Keempat, melakukan
telaah ahli (expert review) sebagai
acuan merevisi skala pengukuran. Kelima,
melakukan uji coba (try out) untuk
menemukan validitas skala pengukuran perilaku asertif siswa berdasarkan
koefisien korelasi butir total Alpha Cronbach.
Konstruk Skala Pengukuran Perilaku
Asertif Siswa dikembangkan berdasarkan enam kriteria perilaku asertif, yaitu:
(1) Ekspresi perasaan yang positif dan negatif; (2) Keberanian mengungkapkan
ide; (3) Keberanian mengajukan pertanyaan; (4) Pandangan tentang diri; (5)
Pandangan tentang hidup; (6) Intensitas Komunikasi. Ekspresi perasaan yang
positif dan negatif berisi 4 butir, keberanian mengungkapkan ide berisi 2
butir, keberanian mengajukan pertanyaan berisi 2 butir, pandangan tentang diri
berisi 5 butir, pandangan tentang hidup berisi 2 butir, dan intensitas
komunikasi berisi 3 butir, sehingga jumlah keseluruhan skala pengukuran
perilaku asertif siswa adalah 18 butir.
Uraian selengkapnya mengenai blue-print dan skala pengukuran perilaku
asertif siswa akan disajikan pada lampiran 1 dan lampiran 2.
2.
Validitas
Skala Pengukuran
Perilaku Asertif Siswa telah dilakukan uji coba (try out) kepada 34 siswa SMP AL-HUDA Surabaya, kemudian hasilnya
dianalisis dengan korelasi butir-total. Analisis korelasi butir-total
dimaksudkan untuk menguji validitas butir dengan ketentuan suatu butir
dinyatakan valid jika koefisien korelasinya positif dan signifikan (p≤0,01).
Analisis korelasi butir-total skala pengukuran perilaku asertif siswa
menggunakan program SPSS for MS Windows versi 16.0. Hasil analisis korelasi
butir-total Skala Pengukuran Perilaku Asertif Siswa dari 22 butir diperoleh
koefisien validitas 0,496 – 0,930.
3.
Reliabilitas
Di samping uji
validitas, juga dilakukan uji reliabilitas dengan menggunakan teknik Alpha
Cronbach sebagaimana pada program SPSS for MS Windows versi 16.0. Hasil uji
reliabilitas skala pengukuran perilaku asertif siswa diuraikan pada tabel 3.4
sebagai berikut.
Tabel 3.3
Koefisien Reliabilitas Uji Coba
(Try Out)
No.
|
Skala Pengukuran
|
Koefisien Reliabilitas Cronbach’s
Alpha
|
1.
|
Skala
Pengukuran Perilaku Asertif Siswa
|
0, 674
|
D.
Instrumen
Penelitian
Instrumen penelitian
merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengumpulkan data. Penelitian ini
menggunakan instrumen skala pengukuran yaitu sebuah pernyataan. Variabel yang
digunakan yaitu variabel perilaku asertif yang dirangkum dalam sebuah
pernyataan yang berjumlah 18 dengan indikator sebagai berikut.
1. Kemampuan
mengekspresikan perasaan yang sesungguhnya,
2. Keberanian
mengungkapkan ide,
3. Keberanian
mengajukan pertanyaan,
4. Pandangan
tentang diri,
5. Pandangan
tentang hidup,
6. Intensitas
komunikasi.
Dari
enam indikator tersebut peneliti menggunakan jenis instrumen skala pengukuran
dengan 18 item pernyataan yang berisi tentang indikator perilaku asertif yang
nantinya akan dapat dilihat apakah siswa memiliki perilaku asertif.
E.
Prosedur
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan di SMP AL-HUDA Surabaya dengan menyebarkan skala pengukuran perilaku
asertif yang berisikan tentang indikator perilaku asertif untuk mengetahui
sejauh mana responden memiliki perilaku asertif. Tahap kedua, peneliti
mendapatkan delapan dari delapan puluh siswa yang memiliki perilaku asertif
dengan skor pretest terendah yang kemudian diberikan perlakuan (treatment)
dengan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok.
F.
Metode
Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teknik Uji Wilcoxon
Signed Rank Test. Teknik analisis ini digunakan untuk menguji hipotesis
pengaruh penggunaan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap
asertivitas siswa. Kaidah analisis yang digunakan adalah hipotesis alternative
(ha) didukung jika peluanh kesalahan (p) ≤ 0,05 atau pada taraf signifikansi
95%. Program statistika yang digunakan untuk melakukan analisis data adalah
SPSS for MS Windows versi 16.0.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada
bab ini diuraikan mengenai hasil dari penelitian, uji hipotesis dan pembahasan
hasil penelitian.
A.
Deskripsi
Hasil Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian
sebagaimana yang telah diuraikan pada bab I, variabel-variabel dalam penelitian
ini adalah penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok
sebagai variabel bebas dan asertivitas siswa sebagai variabel terikat.
Penelitian pengaruh penerapan strategi pelatihan
asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa telah berlangsung
di SMP AL-HUDA Surabaya terhitung dari tanggal 5 September 2014 sampai dengan 5
Desember 2014. Penelitian ini dilaksanakan sebanyak 6 X tatap muka dan
menggunakan 8 orang siswa sebagai subjek penelitian yang dipilih sesuai dengan
skor terendah dalam pengukuran skala perilaku asertif.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji
signifikansi pengaruh penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling
kelompok terhadap asertivitas siswa kelas VII SMP AL-HUDA Surabaya. Dengan kata
lain, apakah intensitas asertivitas siswa kelas VII SMP AL-HUDA Surabaya dapat
meningkat setelah diterapkan strategi pelatihan asertif?.
Hasil statistik asertivitas siswa sebelum dan
sesudah diberikan treatment atau
perlakuan penerapan strategi pelatihan asertif diuraikan pada tabel 4.1 sebagai
berikut.
Tabel
4.1
Statistik
Deskriptif Asertivitas Siswa (AS)
No.
|
Variabel
|
N
|
Rerata
|
Std. Deviasi
|
Minimum
|
Maximum
|
1
|
AS
T1
|
8
|
44,25
|
2,375
|
41,00
|
47,00
|
2
|
AS
T2
|
8
|
60,00
|
2,000
|
57,00
|
63,00
|
Tabel 4.1 di atas, menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan rerata (mean) skor variabel AS (T2) setelah diterapkan
strategi pelatihan asertif. Rerata (mean) skor variabel AS (T1) sebelum
diterapkan strategi pelatihan asertif adalah 44,25, sedangkan rerata (mean)
skor variabel AS (T2) setelah diterapkan strategi pelatihan asertif 60,00,
terjadi peningkatan rerata (mean) skor variabel AS sebesar 15,75%. Dengan
demikian penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok dapat
meningkatkan asertivitas siswa SMP AL-HUDA Surabaya.
B.
Uji
Hipotesis
Menguji hipotesis terdapat pengaruh yang
signifikan penggunaan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok
terhadap asertivitas siswa didasarkan pada hasil analisis Uji Wilcoxon Signed
Rank Test yang diuraikan pada tabel 4.2 kaidah yang digunakan adalah hipotesis
alternatif (Ha) yaitu ada pengaruh yang
signifikan penggunaan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok
terhadap asertivitas siswa, didukung jika peluang kesalahan (p) ≤ 0,05 atau
pada taraf signifikan 95%, hipotesis nihil (Ho) yaitu tidak ada pengaruh yang
signifikan pengaruh penggunaan strategi pelatihan asertif dalam konseling
kelompok terhadap asertivitas siswa, didukung jika peluang kesalahan (p) ≥ 0,05
atau pada taraf signifikan dibawah 95%.
Kesimpulannya yaitu ada pengaruh yang signifikan penerapan strategi
pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa kelas VII
SMP AL-HUDA Surabaya, karena hasil analisis dari Uji Wilcoxon Signed Rank Test
skor Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar 0,012. Skor tersebut kurang dari 0,05
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan penerapan
strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa
kelas VII SMP AL-HUDA Surabaya.
Tabel
4.2
Rangkuman
Hasil Analisis Uji Wilcoxon Signed Rank Test
Skala
Perilaku Asertif Siswa Pretest dan Post-test
|
Posttest-Pretest
|
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
|
-2,527
0,012
|
C.
Pembahasan
Hasil Penelitian
Penelitian pengaruh penerapan strategi pelatihan
asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa dengan menggunakan One Group Pre-Test dan Post Test Design
menghasilkan temuan penelitian yaitu terdapat pengaruh positif yang signifikan
penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap
asertivitas siswa.
Perilaku asertif adalah sikap atau
perilaku yang mampu mengekspresikan emosi secara bebas, tepat dan tegas tanpa
cemas terhadap orang lain tetapi tetap memperhatikan norma yang berlaku di
sekitar. Perilaku Asertif ditandai enam ciri meliputi, pertama Ekspresi perasaan yang positif dan negatif; kedua Keberanian mengungkapkan ide, ketiga Keberanian mengajukan pertanyaan,
keempat Pandangan tentang diri, kelima Pandangan tentang hidup, keenam Intensitas komunikasi.
Temuan
hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan Dzakiyatus
(2011) dan penelitian yang lain juga mengatakan
bahwa pelatihan asertif berpengaruh terhadap peningkatan perilaku asertif
siswa-siswi SMP (Anima, Indonesian Psychological Journal 2005) yang membuktikan
bahwa pengaruh penerapan strategi pelatihan asertif cukup signifikan terhadap
asertivitas siswa sebesar 15,75% sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat
pengaruh positif yang signifikan penerapan strategi pelatihan asertif dalam
konseling kelompok terhadap asertivitas siswa.
Penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan rerata (mean) skor
variabel asertivitas siswa (T2) setelah diberi perlakuan strategi pelatihan
asertif dalam konseling kelompok. Rerata (mean) skor variabel asertivitas siswa
(T1) sebelum diberikan perlakuan strategi pelatihan asertif dalam konseling
kelompok 44,25, sedangkan rerata (mean) skor variabel asertivitas siswa (T2)
setelah diberikan perlakuan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok
menjadi 60,00, terjadi peningkatan rerata (mean) skor asertivitas siswa sebesar
15,75%. Dengan demikian penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling
kelompok dapat meningkatkan asertivitas siswa kelas VII SMP AL-HUDA Surabaya.
Dengan demikian, keberadaan bimbingan dan konseling (BK) pada setting
persekolahan senantiasa mampu memberikan manfaat dan kontribusi dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan
hasil penelitian yang telah diperoleh, maka pada bab ini akan diuraikan
simpulan dan saran.
A.
Simpulan
Hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab IV
dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif yang signifikan penerapan
strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok terhadap asertivitas siswa
kelas VII SMP AL-HUDA Surabaya.
B.
Saran
Bukti bahwa terdapat pengaruh positif
yang signifikan penerapan strategi pelatihan asertif dalam konseling kelompok
terhadap asertivitas siswa kelas VII SMP AL-HUDA Surabaya, maka dapat diberikan
saran sebagai berikut.
1. Untuk
meningkatkan asertivitas siswa maka perlu diterapkan strategi pelatihan asertif.
2. Strategi
pelatihan asertif tidak hanya diberikan pada siswa kelas VII SMP, akan tetapi
perlu diberikan semenjak duduk di bangku SD maupun pada tahap pertumbuhan dan
perkembangan.
3. Akan
lebih baik dan sempurna apabila strategi pelatihan asertif diterapkan dan
dikembangkan pada sekolah menengah di seluruh wilayah Indonesia, serta dalam
pelaksanaannya orang tua turut andil untuk memantau perkembangan belajar
putra-putrinya.
4. Strategi
pelatihan asertif sangat diperlukan di sekolah agar siswa mampu memahami
dirinya, menguasai emosinya, memahami lingkungan sekitar dan mampu menolak
hal-hal negatif dari lingkungan sekitarnya.
5. Sepatutnya
seorang guru BK atau Konselor menguasai strategi Pelatihan Asertif karena
strategi ini sangat penting untuk dikuasai oleh konselor atau Guru BK.
6. Penerapan
Strategi Pelatihan Asertif dalam Konseling Kelompok dapat meningkatkan
asertivitas siswa. Oleh karena itu, penerapan strategi ini dapat digunakan
sebagai salah satu alternatif bagi konselor dalam melaksanakan kegiatan
bimbingan untuk meningkatkan asertivitas siswa SMP. Hal yang perlu diperhatikan
dalam pelaksanaan strategi ini yakni latihan asertif yang telah diajarkan oleh
konselor ini dilakukan secara rutin oleh konseli.
DAFTAR
PUSTAKA
Alberti,
R. & Emmons, M. 2002. Your Perfect
Right (Alih Bahasa:Budi tjahya, U.G.). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Alberti,
R. dan Emmons, R. 2002. Your Perfect
Right: Panduan Praktis Hidup lebih Ekspresif dan Jujur pada Diri Sendiri.
Jakarta: Elex Media Komputindo.
Alberti,
R.E. & Emmons, M.L. 1975. Stand Up,
Speak Out, Talk Back. New York:Pocket Books. (etzawijayanti.blogspot.com,
diakses tanggal 01 Juli 2014 pukul 08.30 WIB).
Anima
Indonesian Psyhcological Journal 2005, Vol.20. No.2., 149-168 (library.um.ac.id, diakses
pada tanggal 25 Juli 2014 pukul 18.30 WIB).
Ardiah,
2003. Ego dan Perilaku Merokok Remaja.
Yogyakarta: Andi.
Artikel
S. Weni Nur 2012 UNY (perilaku asertif, diakses pada tanggal 25 Juli 2014 pukul
18.00 WIB).
Azwar,
Syarifudin. 2000. Reliabilitas dan
Validitas Data. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Bloom,
L. Z. , Coburn, K. , Pearham, J. 1985. The
Assertive Women. NY: Dell Publishing Co. Inc.
Devito,
J.A. (1986) . The Interpersonal
Development (2nd ed). USA: Brown&Benhchmark Pub.
Fensterheim,
H. dan Baer, J. 1980. Jangan Bilang Ya
Bila Anda Akan Mengatakan Tidak. Jakarta: Gunung Jati.
Hadi,
S. 2000. Metodologi Research Jilid 1.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
Hadi,
S. 2000. Metodologi Research Jilid 3.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
Hallen
A. 2005. Bimbingan dan Konseling.
Jakarta: Quantum Teaching.
Hidayat,
A. R. 2000. Asertivitas dan Kreativitas
Remaja. Yogyakarta: Andi.
Khan,
S.E. 1979. Adding Affect to Assertion
Taraining. The Personal Guidance Journal, 57 P 424-426, (www.academia.edu, diakses tanggal 18 Agustus
2014 pukul 09.30 WIB)
Khusna,
M. 2002. Melatih Asertifitas untuk
Meningkatkan Prestasi Belajar. Yogyakarta: Andi.
Lazarus,
R. S. 1996. Pattern of Adjustment.
N.Y: McGraw-Hiil Book Co.
Marini,
Liza &Andriani Elvi. (2005). Perbedaan Asertivitas Remaja ditinjau dari
Pola Asuh Orang Tua. Jurnal Psikologi
Universitas Sumatera Utara. Vol.1. no.2. 46-53, (elisa1.ugm.ac.id, diakses
tanggal 18 Agustus 2014 pukul 09.00 WIB)
Martanti,
R. H. 2002. Perbedaan Perilaku Asertif
antara Siswa IPA dan Siswa IPS SMU Negeri 1 Kebumen. Skripsi Yogyakarta: F.
Psi. UGM.
Mulyani,
S. 1989. Perbedaan Perilaku Asertif
Ditinjau dari Locus of Control dan Kepercayaan Antar Pribadi Antara Suami
Maupun Istri Ketika menghadapi Konflik. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM.
Nursalim,
Mochammad, dkk. 2005. Strategi Konseling.
Surabaya: Unesa University Press.
Prabana,
(1997). Perbedaan Asertivitas Remaja
Ditinjau dari Status Sosial Ekonomi Orang Tua dan Jenis Kelamin. (Skripsi-Tidak
diterbitkan) Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Prayitno.
1995. Layanan Bimbingan dan Konseling
Kelompok. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Prayitno.
2001. Panduan Kegiatan Pengawasan
Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Rahmawati,
S. 1994. Hubungan Antara Assertivitas dan
Locus of Control dengan Kepuasan Kerja. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas
Psikologi UGM.
Rakos,
R.F. (1991). Assertive
Behavior:Theory,Research&Training. New York: Routledge,
Chapman&Hall inc.
Rathus,
S.A. dan Nevid, J.S. 1983. Adjustment and
Growth: The Challenges of Life (2nd ed). New York: CBS College
Publishing.
Sekardi,
Dewa Ketut. 2000. Pengantar Pelaksanaan
Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Simmons,
S.,& Simmons, J.C., J.r. (1997). Measuring
emotional intelligence:the ground breaking guide to applying the principles of
emotional intelligence Arlington, Texas: The Summit Pub.Grup, (repository.usu.ac.id,
diakses tanggal 19 Agustus 2014 pukul 09.00 WIB)
Sugiyono,
2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Hal: 117.
Walgito,
Bimo. 2004. Bimbingan dan Konseling
(Studi dan Karier). Yogyakarta: Andi.
Wibowo, Mungin Edi. 2005.
Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang: UNNES Press.
Willis,
L. dan Daisley, J. 1995. The Assertive
Trainer: A Practical Handbook Assertiveness of Trainers and Running
Assertiveness Course. USA: Mc. Graw Hill, (eprints.undip.ac.id,
diakses tanggal 19 Agustus 2014 pukul 08.30 WIB)
Winkel.
2004. Bimbingan dan Konseling di
Institusi Pendidikan. Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia
Zastrow,
C.A. (1977). The Stability of Aggressive
Behavior: A Meta Analysis Journal of Psyhcology,18,273-281, (repository.usu.ac.id,
diakses tanggal 18 Agustus 2014 pukul 10.00 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar